Ayahmu, Kok Aneh Sih?

Pernahkah seseorang berkata,
"Penting bagi kita untuk mengurangi waktu
untuk memikirkan bagaimana penampilan kita
dan menyediakan waktu lebih banyak
untuk memikirkan bagaimana kita melihat"?
Jika tidak, harus ada yang berkata demikian.

Carmen Richardson Rutlen

Aku telah duduk di SMU
ketika tiba-tiba sadar bahwa ayah-ku memiliki cacat sejak lahir.
Dahulu bibirnya sumbing
dan langit-langitnya tidak menutup sempurna,
tetapi bagiku ia selalu tampak sebagaimana adanya sejak aku dilahirkan.

Aku masih ingat,
sesudah memberinya ciuman selamat malam,
ketika aku masih kecil,
aku bertanya apakah hidungku akan menjadi pesek kalau sering berciuman.
la meyakinkan aku bahwa itu tidak akan terjadi,
tetapi aku teringat dengan kerlip pada matanya.
Aku yakin ia sedang mengagumi seorang putri
yang begitu menyayanginya sehingga sang putri mengira bahwa
ciuman-ciumannya, bukan operasi sebanyak tiga puluh tiga kali,
yang telah mengubah wajahnya.

Ayahku orang yang ramah,
sabar, bijaksana, dan penyayang.
la pahlawanku dan cinta pertamaku.
Kalau bertemu dengan seseorang,
ia tidak pernah mempermasalahkan kekurangan-kekurangannya.
la tahu nama pertama baik setiap petugas kebersihan,
setiap sekretaris, maupun setiap CEO.
Sebenarnya, kukira ia paling menyukai petugas kebersihan.
la selalu bertanya tentang keluarga mereka,
yang menurut mereka akan memenangkan penghargaan kelas dunia
dalam hal mengatasi bagaimana hidup memperlakukan mereka.

la selalu menyediakan waktu
untuk mendengarkan tanggapan-tanggapan mereka
dan mengingat jawaban-jawaban mereka.

Ayah tidak pernah membiarkan ketidaksempurnaan fisik mengatur hidupnya.
Ketika ia dianggap terlalu tidak menarik untuk pekerjaan sebagai penjual,
ia mengambil sepeda,
menjadi pengantar barang dan menciptakan rutenya sendiri.

Ketika angkatan darat tidak menerima lamarannya,
ia menjadi sukarelawan.
la bahkan pernah meminta kesediaan seorang kontestan Miss America
untuk berkencan dengannya.

"Kalau tidak pernah meminta, kita tidak akan pernah tahu,"

belakangan ia bercerita kepadaku.
la jarang berbicara melalui telepon,
karena orang sulit memahaminya.
Ketika orang menjumpainya secara pribadi
dengan sikap positifnya dan senyumnya,
tampaknya orang segera tidak peduli dengan cacatnya.

la menikah dengan seorang wanita cantik,
dan mereka memiliki tujuh orang anak yang sehat,
yang semuanya mengira bahwa matahari dan rembulan
terbit dari wajah sang ayah.

Tetapi,
ketika aku memasuki "usia canggih,"
ketika aku menjalani usia pancaroba,
tiba-tiba aku tidak dapat menerima
berada di ruang yang sama dengan lelaki sama
yang selama sepuluh tahun telah membiarkan aku mengawasinya bercukur

setiap pagi.
Dalam pandangan mataku kala itu,
teman-temanku serba gaya, "keren," dan populer;
sedangkan ayahku tua dan ketinggalan zaman.

Pada suatu malam aku pulang bersama teman-teman semobil penuh,
dan kami singgah di rumahku untuk mengambil makanan ringan untuk begadang.
Ayahku keluar dari kamar tidurnya
dan menyalami teman-temanku,
menyuguhkan soda dan membuatkan popcorn.
Salah seorang temanku menarikku ke samping dan bertanya,
"Ayahmu kenapa?"

Tiba-tiba,
aku memandang ke seberang ruangan
dan melihatnya untuk pertama kali dengan mata yang tidak bias.
Aku terkejut setengah mati.
Ayahku ternyata seperti monster!
Aku menyuruh teman-temanku lekas pergi,
mengantar mereka pulang.
Aku merasa konyol sekali.
Bagaimana mungkin aku tak pernah melihatnya?

Belakangan malam itu aku menangis,
bukan karena sadar bahwa ayahku berbeda,
tetapi karena sadar
betapa aku telah menjadi orang yang berpikiran begitu dangkal.
Dialah orang terbaik dan paling penyayang
yang dapat diharapkan oleh seseorang,
dan aku telah mengukurnya berdasarkan penampilan luarnya.

Malam itu aku sadar
bahwa apabila aku menyayangi seseorang secara utuh
dan memandangnya melalui sepasang mata yang polos,
bebas dari praduga,
aku akan mulai memahami betapa buruknya sebuah prasangka.

Malam itu aku melihatnya
sebagaimana yang tampak oleh kebanyakan orang lain,
sebagai seseorang yang berbeda,
cacat, dan tidak normal.
Tidak ingat bahwa ia orang baik
yang sayang kepada istrinya,
kepada anak-anaknya,
dan kepada sesama manusia.
la memiliki kebahagiaan dan kesedihannya sendiri
dan telah menjalani suatu masa seumur hidup
di mana orang menilainya hanya berdasarkan penampilannya.




Aku bersyukur karena mengenalnya lebih dahulu,
sebelum orang lain menunjukkan kekurangan-kekurangan fisiknya.

Kini Ayah telah tiada.
Empati, rasa belas kasih, dan kepedulian kepada orang lain
merupakan sifat-sifat yang diwaris-kannya kepadaku.
Semua itu hadiah terbesar yang dapat diberikan
oleh seorang orangtua kepada seorang anak,
kemampuan untuk mencintai orang lain
tanpa memandang status sosial, ras, agama,
atau kecacatan mereka,
juga ketekunan dan ketabahan
untuk menerima hidup apa adanya.
Hasrat tertinggi untuk menjadi orang penyayang
sehingga kecupan-kecupan yang kuterima
cukup banyak untuk membuat hidungku menjadi pesek.

Carol Darnell

No comments:

Post a Comment