Papa Paling Hebat Sejagat

Usianya 50 tahun waktu aku lahir,
dan dia adalah "Pak Ibu" bagiku.
Aku tak tahu kenapa dia yang ada di rumah,
bukannya Mama,
tapi aku masih kecil
dan satu-satunya di antara temanku yang masih memiliki ayah.

Aku menganggap diriku sangat beruntung.
Papa melakukan banyak hal untukku selagi aku masih SD.
la meyakinkan supir bis sekolah untuk menjemputku di rumah,
bukannya di halte bis biasa yang enam blok jauhnya.
la selalu sudah menyiapkan makan siang waktu aku pulang
biasanya roti pakai selai kacang dan jelly
yang dibentuk sesuai dengan musimnya.

Kesukaanku adalah waktu hari raya.
Rotinya ditaburi gula hijau dan dipotong seperti bentuk pohon.

Ketika aku makin besar dan mencoba meraih kemandirianku,
aku ingin menjauhi tanda cintanya yang "kekanak-kanakan" itu.

Tapi, ia tak mau menyerah.
Waktu aku masuk SLTA dan tak bisa lagi pulang untuk makan siang,
aku mulai membawa makanan sendiri.

Papa bangun lebih pagi sedikit
dan membuatkannya untukku.
Aku tak pernah tahu apa yang akan dibuatnya.
Bagian luar kantungnya bisa ditutupi dengan lukisan gunung
(yang menjadi ciri khasnya)
atau sebuah hati yang ditulisi
"Papa-n-Angie K.K" ditengahnya.

Di dalam pasti ada serbet bergambar hati yang sama
atau tulisan
"Papa sayang kamu."

Sering kali ia menulis lelucon atau teka-teki, seperti
"Kenapa permen disebut popsicle, bukannya momsicle?"

la selalu punya peribahasa konyol yang membuatku tersenyum
dan membuatku tahu bahwa ia mencintaiku.

Aku biasa menyembunyikan makan siangku
supaya tak ada orang yang melihat kantungnya
atau membaca serbetnya,
tapi itu tak berlangsung lama.
Salah seorang temanku melihat serbetnya suatu hari,
merebutnya,
dan mengoperkannya ke seluruh ruang makan.
Wajahku merah padam karena malu.
Herannya,
keesokan harinya semua temanku menunggu untuk melihat serbetnya.

Dari cara mereka bertingkah,
kurasa mereka semua ingin memiliki seseorang
yang menunjukkan jenis cinta seperti itu kepada mereka.

Aku bangga sekali akan Papa.
Selama tahun-tahun berikutnya kala aku di SLTA,
aku menerima semua serbet itu,
dan masih menyimpan sebagian besar dari semua serbet itu.

Dan itu masih belum usai.
Waktu aku pergi dari rumah untuk kuliah (pergi yang paling akhir),
kusangka pesan-pesan itu akan berhenti.
Tapi, aku dan teman-temanku merasa gembira
karena kebiasaan Papa terus berlanjut.

Aku rindu bertemu dengan ayahku waktu pulang sekolah setiap hari,
jadi aku sering meneleponnya.
Rekening teleponku jadinya cukup tinggi.
Tidak peduli apa yang kami omongkan
aku hanya ingin mendengar suaranya.
Kami memulai suatu ritus pada tahun pertama itu
dan terus berlanjut.

Setelah aku mengucapkan salam, ia selalu berkata,
"Angie?"
"Ya, Pa?" aku menyahut.
"Papa sayang kamu."
"Aku juga sayang Papa."

Aku mulai mendapatkan surat hampir setiap hari Jumat.

Staf di meja depan selalu tahu dari mana surat-surat itu berasal
alamat pengirim ditulis "Si Ganteng."
Sering amplopnya ditulis dengan krayon,
dan bersama surat itu ia biasanya melampirkan
gambar kucing dan anjing kami,
gambar dirinya dan Mama,
dan jika aku pulang akhir minggu sebelumnya,
dilampirkan gambar aku sedang berjalan-jalan keliling kota
bersama teman dan memakai rumah sebagai tempat perhentian.

la juga menggambar lukisan gunung dan tulisan berlingkaran hatinya,
Papa-n-Angie K.K.

Surat dikirimkan tiap hari sebelum makan siang
jadi, aku selalu membawa suratnya pada saat aku pergi ke kafetaria.

Aku sadar bahwa menyembunyikan surat itu percuma saja
karena teman sekarmarku adalah teman se-SLTA
yang tahu tentang serbet Papa.

Sebentar saja, kebiasaan itu menjadi ritus Jumat siang.
Aku membaca suratnya,
lalu tulisan dan amplopnya akan dioper-operkan.

Pada masa inilah Papa diserang kanker.
Waktu suratnya tidak tiba pada suatu hari Jumat,
aku tahu ia sakit dan tak sanggup menulis untukku.
la biasa bangun jam 4 pagi supaya ia bisa duduk dalam rumah yang sepi
dan menulis suratnya.
Kalau ia absen mengirim hari Jumat,
suratnya biasanya akan tiba sehari atau dua hari kemudian.
Yang pasti, suratnya selalu tiba.
Teman-temanku biasa memanggilnya

"Papa Paling Keren Sejagat."

Dan suatu hari mereka mengiriminya sebuah kartu,
memberikan julukan itu, ditandatangani oleh mereka semua.

Aku percaya ia mengajarkan pada kami segalanya tentang cinta seorang ayah.

Aku tak akan kaget kalau teman-temanku
mulai mengirim serbet kepada anak-anak mereka.
Papa telah meninggalkan kesan yang akan tetap hidup bersama mereka
dan memberikan inspirasi pada mereka untuk menyampaikan ungkapan cinta
kepada anak-anak mereka sendiri.

Selama empat tahun aku kuliah,
surat dan telepon datang pada jangka waktu teratur.
Tapi, tiba saatnya waktu aku memutuskan untuk pulang
dan menemaninya karena sakitnya semakin parah,
dan aku tahu bahwa waktu kami untuk bersama-sama memang terbatas.

Itulah hari-hari yang paling sulit dilalui.
Melihat lelaki ini,
yang selalu bertingkah begitu muda, bertambah tua melampaui usianya.

Pada akhirnya ia tak mengenali siapa aku
dan akan memanggilku dengan nama saudara
yang bertahun-tahun tak dilihatnya.
Meskipun aku tahu itu karena penyakitnya,
hatiku tetap sakit karena ia tak bisa mengingat namaku.




Aku sendirian dengannya di kamar rumah sakit dua hari sebelum ia meninggal.
Kami berpegangan tangan dan menonton TV Waktu aku bersiap untuk pergi,
ia berkata,

"Angie?"
"Ya, Pa?"
"Papa sayang kamu."
"Aku juga sayang Papa."

==

Angie K. Ward-Kucer

Buku Harian

Nur annisa, adik kecilku,
seorang gadis yang baru menginjak dewasa tetapi agak kasar
dan suka berrkelakuan seperti lelaki.
Ketika usianya mencecah 17 tahun, perkembangan tingkah lakunya
benar-benar membimbangkan sang ibu.

Dia sering membawa teman-teman lelakinya pulang ke rumah.
Situasi ini menyebabkan ibu tak senang
tambahan pula ibu merupakan guru Taman Pendidikan Al Qur'an.
Untuk mengelakkan pergaulan yang terlalu bebas,
ibu telah meminta adik memakai jilbab atau tudung.
Permintaan ibu itu ditolaknya
sehingga seringkali terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil antara
mereka.
Pernah pada suatu masa, adik berkata dengan suara yang agak keras,
"cuba mak tengok, jiran-jiran kita pun ada yang anaknya pakai tudung,
tapi perangainya sama persis macam orang yang tak pakai tudung.
Sampai kawan-kawan ani di sekolah, yang pakai tudung pun
selalu keluar berpacaran dengan teman laki-lakinya, sambil pegang-pegang
tangan.
Ani ni, walaupun tak pakai tudung,
tak pernah buat macam tu!"

Ibu hanya mampu mengelus dada mendengar kata-kata adik.
Kadang kala sering terlihat ibu menangis di akhir malam.
Dalam qiamullailnya. Terdengar lirik doanya
" Ya Allah, kenalkan annisa dengan hukumMu".

Pada satu hari ada jiran yang baru pindah berhampiran rumah kami.
Sebuah keluarga yang mempunyai enam orang anak yang masih kecil.
Suaminya bernama Abu khoiri, (nama sebenarnya siapa, tak dapat
dipastikan).
Saya mengenalinya sewaktu di masjid.
Setelah beberapa lama mereka tinggal berhampiran rumah kami,
timbul desas desus mengenai isteri Abu Khoiri yang tidak pernah keluar
rumah,
hingga ada yang menggelarnya
si buta, bisu dan tuli.
Perkara ini telah sampai ke pengetahuan adik.
Dia bertanya kepada saya,
"abang, betul kah orang yang baru pindah itu,
isterinya buta, bisu dan tuli?"

Lalu saya menjawab sambil bercanda,
"kalau ingin tau sangat, pergilah kerumah mereka,
tanyalah sendiri"

Rupa-rupanya adik mengambil serius kata-kata saya
dan benar-benar pergi ke rumah Abu Khoiri.
Sekembalinya dari rumah mereka,
saya melihat perubahan yang benar-benar mendadak berlaku pada wajah
adik.
Wajahnya yang tak pernah muram atau lesu menjadi pucat lesi
......entah apa yang telah berlaku?

Namun, selang dua hari kemudian, dia minta ibu buatkan tudung.
Tudung yang yang sempurna.
Tudung yang apik, yang mencerminkan pakaian taqwa.
Adik pakai baju labuh
...... lengan panjang pula tu
...saya sendiri jadi bingung..bingung campur syukur kepada Allah SWT
kerana saya melihat perubahan yang ajaib
..ya, saya katakan ajaib kerana dia berubah seratus delapan puluh
derajad!

Tiada lagi anak-anak muda atau teman-teman wanitanya yang datang ke
rumah
hanya untuk bercakap perkara-perkara yang tidak tentu arah.
.. saya lihat, dia banyak merenung,
banyak baca majalah Islam (biasanya dia suka beli majalah hiburan),
dan saya lihat ibadahnya pun melebihi saya sendiri
..tak ketinggalan tahajudnya, baca Qur'annya,
solat sunatnya..dan yang lebih menakjubkan lagi,
bila kawan-kawan saya datang, dia menundukkan pandangan
..Segala puji bagi Engkau wahai Allah, jerit hati saya..

Tidak lama kemudian, saya mendapat panggilan untuk bekerja di
Kalimantan,
kerja di satu perusahaan minyak CALTEX.
Dua bulan saya bekerja di sana,
saya mendapat khabar bahawa adik sakit tenat
hingga ibu memanggil saya pulang ke rumah.
Dalam perjalanan, saya tak henti-henti berdoa kepada Allah SWT
agar adik diberi kesembuhan,
hanya itu yang mampu saya usahakan.

Ketika saya sampai di rumah..didepan pintu sudah ramai orang..
hati berdebar-debar, tak dapat ditahan.....
saya berlari masuk ke dalam rumah..
saya lihat ibu menangis ..
saya segera menghampiri ibu lantas memeluknya........
dalam esak tangisnya ibu memberitahu,

"Dhi, adik boleh mengucapkan kalimat Syahadah diakhir hidupnya"..
air mata ini tak dapat ditahan lagi...

Setelah selesai upacara pengkebumian dan lain-lainnya,
saya masuk ke bilik adik.
Saya lihat di atas mejanya terletak sebuah diari.
Diari yang selalu adik tulis.





Diari tempat adik menghabiskan waktunya sebelum tidur semasa hayatnya.
Kemudian diari itu saya buka sehelai demi sehelai...
hingga sampai pada satu halaman yang menguak misteri dan pertanyaan
yang selalu timbul di hati ini..

Perubahan yang terjadi ketika adik baru pulang dari rumah Abu Khoiri.
Di situ tertera soal jawab antara adik dan isteri jiran kami itu.
Butirannya seperti ini:

Soal jawab (saya lihat di lembaran itu terdapat banyak bekas airmata)

Annisa :
aku hairan,
wajah wanita ini cerah dan bersinar seperti bidadari
"mak cik.. wajah mak cik sangat muda dan cantik"

Isteri jiranku :
Alhamdulillah ..
sesungguhnya kecantikan itu datang dari lubuk hati

Annisa :
tapi mak cik kan dah ada anak enam ..
tapi masih kelihatan cantik

Isteri jiranku :
Subhanallah..
sesungguhnya keindahan itu milik Allah SWT.
Dan bila Allah SWT berkehendak..siapakah yang boleh menolaknya?

Annisa :
Mak Cik..selama ini ibu saya selalu menyuruh saya memakai tudung..
tapi saya selalu menolak kerana saya rasa
tak ada masalah kalau saya tak pakai tudung
asalkan saya berkelakuan baik.
Saya tengok, banyak wanita yang pakai tudung
tapi kelakuannya melebihi kami yang tak pakai..
sampai saya tak pernah punya rasa bersalah jika tak pakai tudung..
pendapat mak cik bagaimana?

Isteri jiranku :
annisa,
sesungguhnya Allah SWT menjadikan seluruh tubuh wanita ini
perhiasan dari hujung rambut hingga hujung kaki,
segala sesuatu dari tubuh kita yang terlihat oleh bukan muhrim kita
semuanya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT nanti,
tudung adalah perlindungan untuk wanita ..

Annisa :
tapi yang saya tengok,
banyak wanita bertudung yang kelakuannya tak elok..

Isteri jiranku :
Tudung hanyalah kain,
tapi hakikat atau makna disebalik tudung itu sendiri yang harus kita
fahami

Annisa :
apakah hakikat tudung ?

Isteri jiranku :
Hakikat tudung adalah perlindungan zahir batin,
lindungi mata kamu dari memandang lelaki yang bukan muhrim kamu,
lindungi lidah kamu dari mengumpat orang dan bercakap perkara yang
sia-sia
..sentiasalah lazimi lidah dengan zikir kepada Allah SWT,
lindungi telinga kamu dari mendengar perkara yang mengundang mudharat
baik untuk dirimu mahupun masyarakat,
lindungi hidungmu dari mencium segala yang berbau busuk,
lindungi tangan-tangan kamu dari berbuat sesuatu yang tidak senonoh,
lindungi kaki kamu dari melangkah menuju maksiat,
lindungi fikiran kamu dari berfikir perkara yang mengundang syaitan
untuk memperdayai nafsu kamu,
lindungi hati kamu dari sesuatu selain Allah SWT,
bila kamu sudah biasa, maka tudung yang kamu pakai akan menyinari hati
kamu..
itulah hakikat tudung

Annisa :
mak cik, sekarang saya sudah jelas tentang erti tudung...
mudah mudahan saya mampu pakai tudung.
Tapi, macam mana saya harus buat semua tu?

Isteri jiranku :
Duhai nisa,
bila kamu memakai tudung,
itulah kurniaan dan rahmat yang datang dari Allah SWT yang Maha Pemberi
Rahmat,
bila kamu mensyukuri rahmat itu,
kamu akan diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan-amalan 'tudung'
hingga mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah SWT.

Duhai nisa ..ingatlah akan satu hari
di mana seluruh manusia akan dibangkitkan..
ketika ditiup sangkakala yang kedua,
pada saat roh-roh manusia seperti anai-anai yang bertebaran
dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas,
yang tanahnya dari logam yang panas,
tiada rumput mahupun tumbuhan,
ketika tujuh matahari didekatkan di atas kepala kita
namun keadaan gelap gelita,
ketika seluruh manusia ketakutan,
ketika ibu tidak mempedulikan anaknya,
anak tidak mempedulikan ibunya,
sanak-saudara tidak kenal satu sama lain lagi,
antara satu sama lain boleh menjadi musuh
lantaran satu kebaikan lebih berharga dari segala sesuatu yang ada di
alam ini,
ketika manusia berbaris dengan barisan yang panjang
dan masing-masing hanya mempedulikan nasib dirinya,
dan pada saat itu ada yang berpeluh kerana rasa takut yang luar biasa
hingga tenggelam dirinya akibat peluh yang banyak,
dan bermacam macam rupa-rupa bentuk manusia yang tergantung amalannya,
ada yang melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan,
ada yang berbentuk seperti haiwan,
ada yang berbentuk seperti syaitan,
semuanya menangis..menangis
kerana hari itu Allah SWT murka..
belum pernah Allah SWT murka sebelum dan sesudah hari itu.

Hingga ribuan tahun manusia dibiarkan Allah SWT
di padang mahsyar yang panas membara
hinggalah sampai ke Timbangan Mizan.
Hari itulah dipanggil hari Hisab..

Duhai Annisa,
bila kita tidak berusaha untuk beramal pada hari ini,
entah dengan apa nanti kita akan menjawab
bila kita di tanya oleh Yang Maha Perkasa,
Yang Maha Besar,
Yang Maha Kuat,
Yang Maha Agung. . . . .
Allah SWT .

Sampai di sini sahaja kisah itu saya baca
kerana di sini tulisannya terhenti
dan saya lihat banyak titisan airmata yang jatuh dari pelupuk matanya..
Subhanallah .
Saya selak halaman berikutnya
dan saya lihat tertera tulisan kecil dibawah tulisan itu
"buta, tuli dan bisu..
wanita yang tidak pernah melihat lelaki selain muhrimnya,
wanita yang tidak pernah mahu mendengar perkara
yang dapat mengundang murka Allah SWT,
wanita tidak pernah berbicara ghibah
dan segala sesuatu yang mengundang dosa dan sia sia"

Tak tahan airmata ini pun jatuh.
semoga Allah SWT menerima adikku disisinya...
Amin

Sehelai pita kuning

Pada tahun 1971 surat kabar New York Post menulis kisah nyata
tentang seorang pria yang hidup di sebuah kota kecil di White Oak,
Georgia, Amerika.
Pria ini menikahi seorang wanita yang cantik dan baik,
sayangnya dia tidak pernah menghargai istrinya.
Dia tidak menjadi seorang suami dan ayah yang baik.
Dia sering pulang malam- malam dalam keadaan mabuk,
lalu memukuli anak dan isterinya.

Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar,
New York.
Dia mencuri uang tabungan isterinya,
lalu dia naik bis menuju ke utara, ke kota besar,
ke kehidupan yang baru.
Bersama-sama beberapa temannya dia memulai bisnis baru.
Untuk beberapa saat dia menikmati hidupnya.
Sex, gambling, drug.
Dia menikmati semuanya.

Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal,
dan ia mulai kekurangan uang.
Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal.
Ia menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang.
Akhirnya pada suatu saat naas, dia tertangkap.
Polisi menjebloskannya ke dalam penjara,
dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara.

Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya.
Dia merindukan istrinya.
Dia rindu keluarganya.
Akhirnya dia memutuskan untuk menulis surat kepada istrinya,
untuk menceritakan betapa menyesalnya dia.
Bahwa dia masih mencintai isteri dan anak-anaknya.
Dia berharap dia masih boleh kembali.
Namun dia juga mengerti bahwa mungkin sekarang sudah terlambat,
oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan menulis:

Sayang,
engkau tidak perlu menunggu aku...

Namun jika engkau masih ada perasaan padaku,
maukah kau nyatakan?
Jika kau masih mau aku kembali padamu,
ikatkanlah sehelai pita kuning bagiku,
pada satu-satunya pohon beringin yang berada di pusat kota.
Apabila aku lewat dan tidak menemukan sehelai pita kuning,
tidak apa-apa.
Aku akan tahu dan mengerti.
Aku tidak akan turun dari bis,
dan akan terus menuju Miami.
Dan aku berjanji aku tidak akan pernah lagi
menganggu engkau dan anak-anak seumur hidupku.

Akhirnya hari pelepasannya tiba.
Dia sangat gelisah.
Dia tidak menerima surat balasan dari isterinya.
Dia tidak tahu apakah isterinya menerima suratnya
atau sekalipun dia membaca suratnya,
apakah dia mau mengampuninya?

Dia naik bis menuju Miami, Florida,
yang melewati kampung halamannya,
White Oak.
Dia sangat sangat gugup.
Seisi bis mendengar ceritanya,
dan mereka meminta kepada sopir bus itu,
"Tolong, pas lewat White Oak, jalan pelan-pelan.
Kita mesti lihat apa yang akan terjadi."

Hatinya berdebar-debar saat bis mendekati pusat kota White Oak.
Dia tidak berani mengangkat kepalanya.
Keringat dingin mengucur deras.
Akhirnya dia melihat pohon itu.



Air mata menetas di matanya.
Dia tidak melihat sehelai pita kuning.

Tidak ada sehelai pita kuning.
Tidak ada sehelai.
Melainkan ada seratus helai pita-pita kuning bergantungan
di pohon beringin itu.

Seluruh pohon itu dipenuhi pita kuning.

Sang sopir langsung menelpon surat kabar dan menceritakan kisah ini.

Kisah nyata ini
menjadi lagu hits nomor satu pada tahun 1973 di Amerika.
Seorang penulis lagu menuliskan kisah ini menjadi lagu,
"Tie a Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree",
dan ketika album ini di-rilis pada bulan Februari 1973,
langsung menjadi hits pada bulan April 1973.

I'm coming home
I've done my time
And I have to know what is or isn't mine
If you received my letter
Telling you I'd soon be free
Then you'd know just what to do If you still want me
If you still want me
Oh tie a yellow ribbon

'Round the old oak tree It's been three long years
Do you still want me
If I don't see a yellow ribbon 'Round the old oak tree
I'll stay on the bus, forget about us
Put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon 'Round the old oak tree

Bus driver please look for me
'Cause I couldn't bare to see what I might see
I'm really still in prison
And my love she holds the key
A simple yellow ribbon's all I need to set me free
I wrote and told her please

Oh tie a yellow ribbon 'Round the old oak tree
It's been three long years
Do you still want me
If I don't see a yellow ribbon 'Round the old oak tree
I'll stay on the bus, forget about us
Put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon 'Round the old oak tree

Now the whole damn bus is cheering
And I can't believe
I see A hundred yellow ribbons 'Round the old.

Kisah Nyata tentang Arbutus dan Burung Camar

Nenekku memiliki seorang musuh benama Bu Wilcox.
Nenek dan Bu Wilcox masih pengantin baru
ketika mereka mulai menghuni dua rumah bersebelahan
di Main Street yang tentram beratapkan pohon elm
di sebuah kota kecil tempat mereka menghabiskan hidup mereka.

Aku tak tahu apa yang memulai perang itu
yang terjadi jauh sebelum aku lahir
dan menurutku, saat aku lahir, setelah 30 tahun kemudian,
mereka sendiri sudah lupa apa yang memulainya.
Tapi perang itu masih terus berlangsung dengan sengit.

Jangan salah.
Ini bukan pertandingan yang sopan.
Ini perang antara dua orang wanita,
yang merupakan perang total.
Tak ada satu pun orang dalam kota yang luput dari akibatnya.

Gereja yang sudah berusia 300 tahun,
yang mengalami Revolusi,
Perang Saudara, Perang Spanyol-Amerika,
hampir roboh saat Nenek dan Bu Wilcox berseteru
dalam Pertempuran Ladies' Aid.

Nenek memenangkannya, tapi kemenangan itu hampa.
Bu Wilcox, karena tak dapat jadi ketua,
keluar dari Ladies' Aid dengan gusar,
jadi apa asyiknya memimpin sesuatu
kalau tak bisa memaksa sang musuh bebuyutan untuk mengaku kalah?

Bu Wilcox memenangkan Pertempuran Perpustakaan Umum,
membuat keponakannya Gertrude menjadi pustakawan,
bukan Tante Phyllis-ku.

Pada saat Gertrude mengambil alih,
hari itu juga Nenek berhenti membaca buku perpustakaan dalam semalam,
buku perpustakaan menjelma menjadi "barang berkuman kotor"
dan Nenek mulai membeli buku sendiri.

Pertempuran SMU hasilnya seri.
Kepala sekolahnya mendapat pekerjaan yang lebih baik
dan pergi sebelum Bu Wilcox berhasil mengeluarkannya,
atau Nenek memberikannya masa jabatan seumur hidup.

Selain pertempuran besar ini,
selalu ada serangan dan tembakan di garis pertempuran.

Waktu masih kecil, saat kami mengunjungi nenekku,
salah satu keasyikannya adalah mencibir pada cucu Bu Wilcox
yang amat bandel dan baru sekarang aku menyadari
bahwa mereka hampir sebandel kami
dan mencuri anggur dari kebun milik Wilcox.

Kami juga mengejar ayam Bu Wilcox,
dan menaruh petasan, sisa perayaan 4 Juli (Hari Kemerdekaan),
di rel troli tepat di depan rumah Wilcox,
berharap dengan hati senang bahwa saat troli lewat,

ledakannya sebenarnya masalah yang bisa diabaikan
akan mengejutkan Bu Wilcox.

Pada suatu hari yang cerah,
kami menaruh seekor ular di tangki hujan Wilcox.
Nenekku setengah menentang,
tapi kami merasakan simpati diam-diam,
begitu berbeda dengan larangan ibuku,
dan dengan girang meneruskan kebandelan kami.

Kalau ada anakku yang ...
tapi itu cerita lain.

Jangan menyangka bahwa ini kampanye satu arah.

Bu Wilcox juga memiliki cucu,
lebih banyak,
lebih tangguh,
dan lebih pintar daripada cucu nenekku.

Nenek pun tidak lolos begitu saja.
la diperkenalkan kepada sigung (musang yang berbau busuk) di lotengnya.
Pada hari Halloween,
semua barang yang terlupakan, seperti perabot taman,
dengan ajaib terbang ke bubungan gudang,
dan harus diturunkan oleh pekerja berotot kuat
dan diupah dengan harga tinggi.

Hari mencuci yang berangin tak pernah berlalu
tanpa tali jemuran putus secara misterius,
hingga kain tergeletak di tanah dan harus dicuci lagi.

Sebagian peristiwa ini mungkin memang kebetulan,
tapi cucu Wilcox yang selalu mendapatkan pujian.

Aku tak tahu bagaimana Nenek dapat bertahan menghadapi masalah ini
kalau bukan berkat
'halaman rumah tangga' dari koran Boston.

Halaman rumah tangga ini merupakan sebuah institusi yang menyenangkan.
Selain tip memasak dan nasihat kebersihan biasa,
ada juga bagian yang disusun dari surat pembaca untuk pembaca.

Intinya adalah kalau orang punya masalah
atau mungkin cuma ingin mengeluarkan unek-unek
orang bisa menyurati koran,
menandatanganinya dengan nama seperti Arbutus.
Itu nama pena Nenek.

Lalu, wanita yang memiliki masalah yang sama
membalas dan memberi tahu Anda apa yang telah mereka lakukan,
dengan nama-nama seperti Orang Yang Tahu atau Xanthipee,
atau apa saja.

Yang sering terjadi, masalah terselesaikan,
dan orang tetap meneruskan surat-menyurat mereka selama bertahun-tahun
melalui kolom di koran itu,
saling bercerita tentang anak-anak,
tentang pengawetan,
dan ruang makan yang baru.

Itulah yang terjadi pada Nenek.

la dan seorang wanita berjulukan Burung Camar
bersurat-suratan selama seper-empat abad
dan Nenek bercerita pada Burung Camar
tentang hal yang tak akan diceritakannya kepada orang lain
hal seperti waktu ia berharap untuk mengandung anak lagi
tapi ternyata tidak,

dan saat Paman Steve mendapatkan 'sesuatu' di rambutnya di sekolah
dan betapa malunya Nenek,
meskipun ia berhasil menyingkirkan sesuatu itu sebelum ada orang di kota
yang melihatnya.

Burung Camar adalah sahabat sehati Nenek yang sejati.

Waktu aku berusia sekitar 16 tahun,
Bu Wilcox meninggal.

Di kota kecil, betapa pun orang membenci tetangganya,
sudah sepantasnya ia berkunjung dan menawarkan pertolongan.

Nenek pun, dengan rapi mengenakan celemek katunnya
untuk menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh ingin membantu.

Nenek melintasi dua pekarangan untuk tiba di rumah Wilcox,
dan anak Wilcox memintanya membersihkan ruang depan yang sudah bersih
untuk pemakaman.

Dan pada tempat kehormatan di atas meja ruang tamu
tergeletak sebuah buku kliping besar,
dan di dalam kliping itu,
ditempelkan dengan rapi dalam kolom yang berdampingan,
surat-suratnya untuk Burung Camar selama bertahun-tahun
dan surat-surat Burung Camar untuknya.

Musuh bebuyutan Nenek ternyata adalah sahabat sejatinya.

Itu satu-satunya saat aku ingat melihat nenekku menangis.
Waktu itu aku tak tahu apa tepatnya yang ia tangisi,
tapi aku tahu sekarang.
la menangisi seluruh tahun yang tersia-sia
yang tak dapat diselamatkan lagi.
Waktu itu aku hanya terkesan oleh air matanya,
dan mereka membuatku mengingat hari itu
sebagai kenangan yang lebih berharga daripada air mata seorang wanita.







Pada hari itulah aku pertama-tama mulai menduga
sesuatu yang sekarang aku yakini sepenuh hati,
dan kalau aku harus berhenti meyakininya,
aku ingin berhenti hidup.
Inilah keyakinan itu:

Orang mungkin kelihatan betul-betul menyusahkan.
Mereka mungkin kelihatan jahat, kerdil, dan licik.
Tapi, kalau kamu mau melangkah 10 langkah ke kiri
dan melihat lagi dengan cahaya yang jatuh pada sudut yang berbeda,
mungkin sekali kamu dapat melihat bahwa
mereka itu murah hati, hangat, dan baik.

Semuanya tergantung.
Semuanya tergantung dari sisi mana kamu melihat mereka.

==
Louise Dickinson Rich

Bob Willen

Tahun 1986 di New York diadakan lomba marathon internasional
yang diikuti oleh ribuan pelari dari seluruh dunia.
Lomba ini mengambil jarak 42 kilometer
mengelilingi kota New York.
Jutaan orang dari seluruh dunia ikut menonton acara tersebut
melalui puluhan televisi yang merelainya secara langsung.

Ada satu orang yang menjadi pusat perhatian di lomba tersebut,
yaitu Bob Willen.
Bob adalah seorang veteran perang Amerika,
dan dia kehilangan kedua kakinya karena terkena ranjau
saat perang di Vietnam.
Untuk berlari, Bob menggunakan kedua tangannya
untuk melemparkan badannya ke depan.

Dan lomba pun dimulailah.
Ribuan orang mulai berlari secepat mungkin ke garis finish.
Wajah-wajah mereka menunjukkan semangat yang kuat.
Para penonton tak henti-hentinya bertepuk tangan
untuk terus mendukung para pelari tersebut.

5 kilometer telah berlalu.
Beberapa peserta nampak mulai kelelahan dan mulai berjalan kaki.
10 kilometer telah berlalu.
Di sini mulai nampak siapa yang mempersiapkan diri dengan baik,
dan siapa yang hanya sekedar ikut untuk iseng-iseng.
Beberapa peserta yang nampak kelelahan memutuskan untuk berhenti
dan naik ke bis panitia.

Sementara hampir seluruh peserta
telah berada di kilometer ke-5 hingga ke-10,
Bob Willen yang berada di urutan paling belakang baru saja
menyelesaikan kilometernya yang pertama.

Bob berhenti sejenak,
membuka kedua sarung tangannya yang sudah koyak,
menggantinya dengan yang baru, dan kemudian kembali berlari
dengan melempar-lemparkan tubuhnya kedepan dengan kedua tangannya.

Ayah Bob yang berada bersama ribuan penonton lainnya
tak henti-hentinya berseru
"Ayo Bob... Ayo Bob... berlarilah terus".

Karena keterbatasan fisiknya,
Bob hanya mampu berlari sejauh 10 kilometer selama satu hari.
Di malam hari, Bob tidur di dalam sleeping bag
yang telah disiapkan oleh panitia yang mengikutinya.

Akhirnya empat hari telah berlalu,
dan kini adalah hari kelima bagi Bob Willen.
Tinggal dua kilometer lagi yang harus ditempuh.

Hingga suatu saat,
hanya tinggal 100 meter lagi dari garis finish,
Bob jatuh terguling.
Fisik Bob benar-benar telah habis saat itu.
Bob perlahan-lahan bangkit dan membuka kedua sarung tangannya.
Nampak disana tangan Bob sudah berdarah-darah.
Dokter yang mendampinginya sejenak memeriksanya,
dan mengatakan bahwa kondisi Bob sudah parah,
bukan karena luka di tangannya saja,
namun lebih ke arah kondisi jantung dan pernafasannya.

Sejenak Bob memejamkan mata.
Dan di tengah-tengah gemuruh suara penonton yang mendukungnya,
samar-samar Bob dapat mendengar suara ayahnya yang berteriak
"Ayo Bob, bangkit!
Selesaikan apa yang telah kamu mulai.
Buka matamu, dan tegakkan badanmu.
Lihatlah ke depan, garis finish telah di depan mata.
Cepat bangun !
Tunjukkan ke semua orang siapa dirimu,
jangan menyerah!
Cepat bangkit!!!"

Pelan-pelan Bob mulai membuka matanya kembali.
Saat itulah matanya melihat garis finish yang sudah dekat.
Semangat mulai membara kembali di dalam dirinya,
dan tanpa sarung tangan,
Bob melompat-lompat ke depan.

"Ya, ayo Bob... satu lompatan lagi, Bob...
Capailah apa yang kamu inginkan, Bob!" teriak ayahnya
yang terus berlari mendampinginya.

Dan satu lompatan terakhir dari Bob
membuat tubuhnya melampaui garis finish.

Saat itu meledaklah gemuruh dari para penonton yang
berada di tempat itu.

Bob bukan saja telah menyelesaikan perlombaan itu,
Bob bahkan tercatat di Guiness Book of Record sebagai satu-satunya
orang cacat yang berhasil menyelesaikan lari marathon.

Beberapa saat kemudian,
ketika ada puluhan wartawan yang menemuinya, Bob berkata,




"Saya bukan orang hebat.
Anda tahu saya tidak punya kaki lagi.
Saya hanya menyelesaikan apa yang telah mulai.
Saya hanya mencapai apa yang telah saya inginkan.
Dan kebahagiaan saya dapatkan bukan dari apa yang saya dapatkan.
tapi dari proses untuk mendapatkannya.
selama lomba, fisik saya menurun drastis.
Tangan saya sudah hancur berdarah-darah.
Tapi rasa sakit di hati saya terjadi bukan karena luka itu,
Tapi ketika saya memalingkan wajah saya dari garis finish.
Jadi saya kembali fokus untuk menatap tujuan saya.
Saya rasa tidak ada orang yang akan gagal dalam lari marathon ini.
Tidak masalah anda akan mencapainya dalam berapa lama,
asal anda terus berlari.
Anda disebut gagal bila anda berhenti
Jadi,
janganlah berhenti sebelum tujuan anda tercapai"

Shay

Di Brooklyn, New York,
Cush adalah sebuah sekolah luar biasa bagi anak-anak cacat.
Beberapa anak tetap tinggal di Cush selama masa sekolahnya.
Sedangkan yang lain diperbolehkan melanjutkan ke sekolah biasa.

Pada suatu malam pengumpulan dana,
salah seorang ayah yang anaknya bersekolah di Cush
memberikan pidato yang tak terlupakan oleh para hadirin.

Setelah memuji sekolah dan para staff
yang telah menunjukkan dedikasinya yang tinggi,
ia menangis,
"Dimanakah kesempurnaan diri anak saya, Shay ?
Bukankah semua yang Tuhan ciptakan adalah sempurna ?
Tetapi mengapa anak saya tidak bisa mengerti sebagaimana anak-anak lain ?
Mengapa anak saya tidak bisa mengingat angka dan gambar
sebagaimana anak-anak lain ?

Di manakah kesempurnaan Tuhan ?"

Para hadirin amat terkejut,
tersentuh dengan kesedihan si ayah dan terdiam oleh pertanyaan itu.

"Saya percaya," jawab si ayah,
"bahwa ketika Tuhan melahirkan seorang anak seperti anak saya ke dunia ini, kesempurnaan yang dicarinya terletak pada
bagaimana perlakuan orang-orang lain terhadap anak itu".

Kemudian ia menceritakan kisah berikut ini mengenai anaknya, Shay.

Suatu sore,
Shay dan ayahnya berjalan-jalan melintasi taman
di mana beberapa anak lelaki yang Shay kenal sedang bermain Baseball.
Shay memohon pada ayahnya,
"Yah, menurut ayah,
apakah mereka membolehkan saya ikut bermain ?"

Ayah Shay mengerti bahwa anaknya tidak memiliki kemampuan atletik
dan pasti semua anak lelaki takkan mengijinkan bermain dalam tim mereka.
Tetapi, ayah Shay mengerti juga
bahwa jika anaknya bisa ikut bermain maka Shay
akan merasakan kebahagiaan bisa turut memiliki.

Kemudian, ayah Shay mendekati seorang anak lelaki yang ada di lapangan itu
dan bertanya kalau-kalau Shay boleh ikut bermain.
Anak lelaki itu melihat ke sekeliling meminta pertimbangan
dari rekan-rekan lainnya.
Karena tak ada yang memberikan pertimbangan,
ia memutuskan sendiri dan katanya,
"Kami sedang kalah enam angka,
sedangkan pertandingan ini berlangsung sembilan inning.
Saya pikir anak anda bisa bergabung dalam tim.
Kami akan menempatkannya sebagai pemukul di inning ke sembilan."

Ayah Shay amat senang.
Shay pun tersenyum lebar.
Shay diminta untuk mengenakan sarung tangan
dan menunggu di barisan tunggu luar lapangan.
Di akhir inning ke delapan,
tim Shay memperoleh beberapa angka tetapi tetap tertinggal tiga angka
dari tim lawan.
Kemudian di inning ke sembilan mereka memperoleh angka lagi.
Dua orang berhasil berdiri di base
dan siap-siap untuk memperoleh kemenangan angka.
Kini tiba giliran Shay memukul.
Apakah tim Shay akan benar-benar memasukkan Shay sebagai pemukul berikutnya
dan mengambil resiko untuk kemenangan mereka
yang sudah berada di dalam genggaman ?

Amat mengejutkan,
Shay diijinkan untuk memukul.
Semua orang tahu bahwa hal itu hampir-hampir mustahil
karena Shay sama sekali tidak tahu bagaimana memegang tongkat pemukul baseball. Bagaimana pun Shay maju ke papan pemukul,
pitcher bergerak beberapa langkah
dan melemparkan bola itu perlahan ke arah Shay
sehingga memungkinkan Shay untuk menyentuh bola itu.

Lemparan pertama dilakukan.
Shay memukul tanpa arah dan gagal.
Salah seorang teman Shay mendekati dan bersama-sama
mereka memegang pemukul itu dan menghadapi sang pitcher
yang sudah bersiap-siap untuk meleparkan bola kedua.

Sekali lagi si pitcher maju beberapa langkah
dan melemparkan bola itu dengan perlahan sekali ke arah Shay.
Ketika bola dilemparkan,
Shay dan rekannya yang membantu memegangi tongkat pemukul itu
akhirnya bisa memukul bola itu perlahan sekali ke arah pitcher.

Sang pitcher menangkap bola yang menggelinding di tanah dengan
perlahan.
Ia harus melemparkan bola itu ke penjaga di base pertama.
Dengan demikian Shay bisa saja gagal mencapai base pertama,
keluar dari pertandingan dan timnya pasti menderita kekalahan.

Tapi apa yang terjadi?
Si Pitcher melemparkan bola itu ke kanan
jauh ke atas melewati kepala penjaga base pertama sehingga tak terjangkau.
Semua orang lalu berteriak-teriak,
"Shay, ayo lari ke base pertama.
Lari ke base pertama".

Belum pernah selama hidupnya Shay lari ke base pertama.
Ia tergesa-gesa lari ke base pertama,
bola matanya berbinar-binar.
Ketika ia tiba di base pertama,
penjaga base di sebelah kanan memungut bola.
Ia bisa saja melemparkan bola itu ke penjaga base kedua
yang akan mengalahkan Shay,
tetapi ia melempar bola itu jauh ke atas kepala
sehingga tak tertangkap oleh penjaga base kedua.

Lalu semua orang berteriak,
"Shay, ayo lari ke base kedua,
ayo lari ke base kedua."
Shay lari ke base kedua.
Begitu itu tiba di base kedua,
penjaga tim lawan melempar bola jauh ke atas
sehingga tak terjangkau oleh penjaga base ke tiga.
Lalu mereka semua berteriak
agar Shay lari ke base ketiga.

Ketika Shay menyentuh base ketiga,
semua anak di kedua tim yang sedang saling berlawanan itu berteriak,
"Ayo Shay, lari sampai akhir base.
Lari sampai akhir base !"
Maka Shay pun berlari sampai ke akhir base,
menginjak papan base terakhir.
Serentak ke delapan belas anak yang sedang bermain itu
memeluk dan mengangkat Shay di atas pundak
dan membuatnya seperti pahlawan kemenangan untuk timnya.




"Pada hari itu," kata ayah Shay dengan lembut,
mata yang berkaca-kaca kini tak tahan meneteskan air mata,
"kedelapan belas anak lelaki itu telah menemukan kesempurnaan Tuhan".

Kuda Penari

Pertama kali Bart bercerita kepadaku tentang kudanya,
Dude,
aku tahu bahwa di antara mereka ada sebuah ikatan yang khusus.
Akan tetapi, aku tidak pernah menyangka bahwa
Dude akan mengirimiku sebuah hadiah yang mengesankan.

Karena dibesarkan dalam sebuah keluarga petani turun-temurun di Tennessee,
Bart sayang kepada semua hewan.
Tapi Dude,
seekor kuda tunggang berwarna cokelat kemerahan
yang diterimanya ketika ia menginjak usia sembilan tahun,
menjadi hewan kesayangannya.

Bertahun-tahun kemudian
ketika ayah Bart menjual Dude,
Bart memendam kesedihan yang luar biasa.
Bahkan sebelum bertemu dan menikah dengan Bart,
aku tahu betul rasanya memendam kesedihan.
Karena pekerjaan ayahku,
keluarga kami harus pindah setiap tahun.

Jauh di dalam hatiku,
aku ingin bisa menetap di satu tempat,
sehingga aku dapat menjalin persahabatan yang cukup lama.
Tapi aku tidak pernah mengungkapkannya kepada orangtuaku.
Aku tidak ingin melukai hati mereka.
Namun, kadang-kadang aku ragu
apakah Tuhan dapat terus mengikuti kami.

Pada suatu malam musim panas tahun 1987,
ketika Bart dan aku sedang berayun di sebuah kursi gantung
di beranda depan rumah kami,
tiba-tiba suamiku bercerita,

"Pernahkah aku bercerita
bahwa Dude pernah memenangkan Kejuaraan Dunia Racking Horse?"

"Kejuaraan rocking horse?" tanyaku.

"Racking," kata Bart membetulkan sambil tersenyum ramah.
"Semacam tarian khusus untuk kuda.
Keterampilan ini memerlukan latihan yang lama.
Kita harus menggunakan empat buah tali kekang.
Sulit sekali."
Bart mengarahkan pandangannya ke padang penggembalaan.

"Dude menjadi kuda terbaik dalam perlombaan ini."
"Lalu mengapa kau membiarkan ayahmu menjualnya?" tanyaku menyelidik.
"Aku sama sekali tidak menduga bahwa ia akan melakukannya," jelas Bart.
"Ketika usiaku tujuh belas,
aku beberapa lama bekerja dalam bidang konstruksi di Florida.
Mungkin Ayah mengira aku tidak akan berkuda lagi,
maka ia menjual Dude tanpa meminta pendapatku dahulu.
Kau tahu bahwa bergerak dalam usaha peternakan ini
berarti orang harus selalu membeli dan menjual kuda.

"Aku selalu terpikir tentang apakah kuda itu merindukanku
sebagaimana rasa kehilangan yang kurasakan.
Aku tidak pernah mempunyai keberanian untuk mencoba menemukannya.
Aku tidak akan tahan kalau sampai tahu andaikata nasibnya buruk..."
Suara Bart seperti hilang ditelan angin.

Setelah itu, beberapa malam berlalu,
namun Bart tidak pernah menyinggung masalah Dude lagi.
Aku ikut berduka mendengar ceritanya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Pada suatu petang ketika aku sedang berjalan di padang penggembalaan,
sebuah pikiran aneh muncul dalam benakku.
Seolah-olah ada sebuah suara halus berbisik dalam hatiku,
"Lori, coba carikan Dude untuk Bart."

Sungguh sesuatu yang mustahil! pikirku.
Aku tidak tahu apa pun tentang kuda,
apalagi untuk mencari dan membelinya.
Itu keahlian Bart.

Makin keras aku berusaha menghalau pikiran itu,
makin kuat desakan yang kurasakan.
Aku tidak berani menceritakan kejadian ini kepada siapa pun kecuali Tuhan.
Setiap hari aku meminta kepada-Nya untuk membimbingku.

Pada suatu Sabtu pagi,
tiga pekan setelah bisikan pertama untuk mencari Dude,
seorang pembaca meter, Pak Parker, datang
ketika aku sedang bekerja di kebun.
Entah bagaimana aku terlibat dalam percakapan yang akrab.
Ketika ia bercerita bahwa ia pernah membeli seekor kuda dari ayah Bart,
aku memotong.

"Ingatkah Anda nama kuda itu?" tanyaku.
"Tentu," kata Pak Parker.
"Dude. Saya membelinya dua ratus lima puluh dolar."

Aku membersihkan debu dari tanganku
dan langsung melompat berdiri, tanpa sempat mengatur napas.

"Tahukah Anda nasib kuda itu?" tanyaku.
"Ya. Saya menjualnya lagi dengan keuntungan yang lumayan."

"Di manakah Dude sekarang?" tanyaku.
"Saya harus me-nemukannya."

"Itu tidak mungkin," jelas Pak Parker.
"Saya menjual kuda itu bertahun-tahun lampau.
Bahkan sekarang mungkin ia sudah mati."

"Tapi... bersediakah Anda mencoba membantu saya menemukan kuda itu?"

Setelah aku menjelaskan situasinya,
Pak Parker menatapku dengan tajam cukup lama.
Akhirnya, ia setuju untuk ikut mencari Dude,
dan berjanji tidak mengatakan apa pun kepada Bart.

Setiap Jumat selama hampir satu tahun,
aku menelepon Pak Parker
untuk mengetahui apakah upayanya telah menghasilkan sesuatu.
Tiap minggu jawabannya sama,
"Maaf, belum ada kabar."

Pada suatu Jumat aku menelepon Pak Parker dengan sebuah gagasan lain.
"Dapatkah Anda menemukan salah satu turunan Dude untuk saya?"
"Wah, itu mustahil," jawabnya sambil tertawa.
"Dude seekor kuda kebiri."

"Tidak jadi soal," sahutku.
"Saya tidak keberatan menda-patkan anak kuda kebiri."

"Ah, rupanya Anda belum paham."
Pak Parker menerangkan bahwa kuda kebiri adalah
kuda yang tidak dapat membuahkan keturunan.

Sesudah itu tampaknya ia melipat-gandakan upayanya untuk menolongku.
Beberapa pekan kemudian, ia meneleponku pada hari Senin.

"Saya menemukannya," teriaknya.
"Saya menemukan Dude."
"Di mana?" Aku sampai ingin melompat-lompat karena kegirangan.
"Di sebuah peternakan di Georgia," kata Pak Parker.
"Ada keluarga yang membeli Dude untuk anak remaja mereka.
Tapi mereka tidak bisa berbuat apa pun dengan kuda itu.
Bahkan, mereka mengira kuda itu gila.
Mungkin berbahaya.
Pasti Anda dapat memperolehnya kembali dengan mudah sekali."

Pak Parker benar.
Aku menelepon keluarga itu di Rising Fawn, Georgia,
dan membuat penawaran untuk membeli Dude kembali
dengan harga tiga ratus dolar.
Aku berjuang untuk menjaga rahasia ini sampai akhir pekan.

Pada hari Jumat,
aku menyambut Bart di depan pintu sepulangnya dari bekerja.

"Maukah kau ikut denganku?" bujukku selembut mungkin.
"Aku mempunyai sebuah kejutan untukmu."
"Sayang," protes Bart, "aku lelah."

"Tolonglah, Bart,
aku telah menyiapkan bekal untuk piknik.
Pasti menyenangkan.
Aku janji."

Bart masuk ke dalam Jeep.
Waktu mengemudi, jantungku berdegup begitu kencang
sampai kupikir akan meledak ketika aku berusaha menutupinya
dengan obrolan seputar masalah keluarga.

"Ke mana tujuan kita?"
tanya Bart setelah lewat dari tiga puluh menit.

"Sebentar lagi sampai," jawabku.
Bart mengeluh.
"Sayang, aku mencintaimu.
Tapi aku tidak percaya mengapa kau kubiarkan membawaku ke mari."

Aku tidak melawan.
Aku telah menunggu begitu lama
dan tidak ingin mengacaukannya menjelang saat-saat terakhir.

Kendatipun demikian,
ketika aku berbelok ke luar dari jalan raya,
masuk ke sebuah jalan tak beraspal,
Bart begitu marah sehingga tidak mau diajak bicara.
Dan ketika aku berbelok lagi ke jalan yang lebih buruk,
Bart melotot dengan marah.

"Kita sudah sampai," kataku,
sambil berhenti di depan pagar sebuah padang penggembalaan.

"Di sini di mana? Lori,
apakah kau tidak waras?" bentak Bart.

"Jangan berteriak," kataku. "Bersiul."
"Apa?" teriak Bart.
"Bersiul," ulangku.
"Seperti yang dahulu sering kau lakukan...
untuk memanggil Dude...
Bersiul sajalah.
Kau akan mengerti dengan sendirinya."

"Baiklah...
Aku... Aku pikir ini gila,"
geram Bart sambil turun dari Jeep.

Bart bersiul.
Tidak terjadi apa pun.
"Ya, Tuhan," kataku dalam hati,
"jangan sampai gagal."

"Coba sekali lagi," desakku.
Bart bersiul sekali lagi.
Tiba-tiba, dari tepi cakrawala,
seekor kuda berderap kencang.
Belum lagi aku sempat membuka mulut,
Bart telah melompati pagar.

"Dude!" teriaknya,
sambil berlari memburu sahabat tersayangnya.

Dengan pandangan kabur, aku melihat kuda dan suamiku bertemu
seperti tayangan gerak lambat adegan pertemuan di televisi.

Bart langsung melompat ke punggung sang sahabat,
mengusap bulu tengkuknya, dan menepuk-nepuk lehernya.

Tiba-tiba, seorang remaja pengunyah tembakau,
berambut cokelat kekuningan, beserta orangtuanya,
muncul dari balik bukit dengan wajah tidak senang.

"Tuan," teriak sang remaja. "Apa yang Anda perbuat?
Kuda itu gila.
Tidak ada yang sanggup menjinakkannya."

"Tidak," sahut Bart.
"la tidak gila. Namanya Dude."

Yang mengejutkan semua orang,
dengan perintah lembut dari Bart,
Dude, si kuda liar, menjulurkan kepalanya ke atas dan mulai menari.
Sementara kuda itu beraksi sambil berkeliling,
tidak ada yang bicara.
Ketika Dude selesai menarikan tarian kegembiraannya,
Bart meluncur turun dari punggungnya.

"Aku ingin membawa Dude pulang," katanya.
"Aku tahu," kataku dengan mata berkaca-kaca.
"Semua urusan telah kuselesaikan.
Kita dapat kembali lagi untuk mengambilnya."

"Tidak," tegas Bart.
"la pulang malam ini juga."

Aku menelepon iparku,
lalu mereka datang membawa trailer untuk mengangkut kuda.
Kami membayar harga Dude kemudian pulang ke rumah.

Bart menghabiskan malam itu di kandang.
Aku tahu ia dan Dude perlu waktu banyak untuk saling melepas rindu.
Waktu memandang ke luar melalui jendela kamar tidur,
bulan terasa memancarkan cahaya hangat ke seluruh peternakan kami.
Aku tersenyum,
mengingat aku dan suamiku sekarang mempunyai sebuah cerita indah
untuk diceritakan kepada anak-anak dan cucu-cucu di masa mendatang.




"Terima kasih, Tuhan," bisikku.
Kebenaran telah menyentuhku.
Aku mencari Dude lebih lama daripada masa tinggalku di satu tempat.
Tuhan telah menggunakan proses pencarian kuda kesayangan suamiku
untuk memperbarui kepercayaanku kepada seorang teman
yang terus berada lebih dekat daripada saudaraku sendiri.

"Terima kasih, Tuhan," bisikku lagi menjelang terlelap.
"Terima kasih karena Engkau tidak pernah melepaskan pengawasanmu
terhadap Dude—
atau aku sendiri."

Lori Bledsoe

Buku Telephone

Suatu ketika di ruang kelas sekolah menengah,
terlihat suatu percakapan yang menarik.
Seorang Pak Guru, dengan buku di tangan,
tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas.
Sementara itu, dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan.

" Anak-anak,
kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini.
Setelah 3 tahun,
pencapaian terbesar apa yang membuat kalian bahagia ?
Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini ?"

Murid-murid tampak saling pandang.

Terdengar suara lagi dari Pak Guru,
" Ya, ceritakanlah satu hal terbesar
yang terjadi dalam hidup kalian ..."

Lagi-lagi semua murid saling pandang,
hingga kemudian tangan Pak Guru itu menunjuk pada seorang murid.

" Nah, kamu yang berkacamata,
adakah hal besar yang kamu temui ?
Berbagilah dengan teman-temanmu ..."

Sesaat, terlontar sebuah cerita dari si murid,

" Seminggu yang lalu,
adalah saat-saat yang sangat besar buat saya.
Orang tua saya, baru saja membelikan sebuah motor,
persis seperti yang saya impikan selama ini."

Matanya berbinar,
tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu.

" Motor sport dengan lampu yang berkilat,
pasti tak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan itu !"

Pak Guru tersenyum.
Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya.
Maka, terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir.

Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil.
Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri.
Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung.

Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui
dan mereka dapatkan.
Hampir semua telah bicara,
hingga terdengar suara dari arah belakang.

" Pak Guru ... Pak, saya belum bercerita."

Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil.
Matanya berbinar.
Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya
bercerita tentang kisah besar yang mereka punya.

" Maaf, silahkan, ayo berbagi dengan kami semua,"
ujar Pak Guru kepada murid berambut lurus itu.

" Apa hal terbesar yang kamu dapatkan ?"
ujar Pak Guru mengulang pertanyaannya kembali.

" Keberhasilan terbesar buat saya,
dan juga buat keluarga saya adalah ...
saat nama keluarga kami
tercantum dalam Buku Telepon yang baru terbit 3 hari yang lalu."

Sesaat senyap.
Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu.
Ada yang tersenyum simpul,
terkikik-kikik,
bahkan tertawa terbahak mendengar cerita itu.

Dari sudut kelas, ada yang berkomentar,
" Ha ? Saya sudah sejak lahir menemukan nama keluarga saya di Buku Telepon.
Buku Telepon ?
Betapa menyedihkan ... hahaha ..."

Dari sudut lain, ada pula yang menimpali,
" Apa tak ada hal besar lain yang kamu dapat
selain hal yang lumrah semacam itu ?"

Lagi-lagi terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan.
Pak Guru berusaha menengahi situasi ini,
sambil mengangkat tangan.

" Tenang sebentar anak-anak,
kita belum mendengar cerita selanjutnya.
Silahkan teruskan, Nak ..."

Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara.
" Ya, memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah saya dapatkan.

Dulu, Papa saya bukanlah orang baik-baik.
Karenanya, kami sering berpindah-pindah rumah.
Kami tak pernah menetap,
karena selalu merasa di kejar polisi."

Matanya tampak menerawang.
Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu,
dan ia melanjutkan.

" Tapi, kini Papa telah berubah.
Dia telah mau menjadi Papa yang baik buat keluarga saya.
Sayang, semua itu butuh waktu dan usaha.

Tak pernah ada Bank dan Yayasan
yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja.
Hingga setahun lalu,
ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Papa saya.

Dan kini, Papa berhasil.
Bukan hanya itu,
Papa juga membeli sebuah rumah kecil buat kami.
Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi."

" Tahukah kalian,
apa artinya kalau nama keluarga saya ada di Buku Telepon ?

Itu artinya,
saya tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan Papa
untuk terus berlari.

Itu artinya,
saya tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang saya sayangi.

Itu juga berarti,
saya tak harus tidur di dalam mobil setiap malam yang dingin.

Dan itu artinya, saya, dan juga keluarga saya,
adalah sama derajatnya dengan keluarga-keluarga lainnya."

Matanya kembali menerawang.
Ada bulir bening yang mengalir.

" Itu artinya,
akan ada harapan-harapan baru yang saya dapatkan nanti ..."

Kelas terdiam.
Pak Guru tersenyum haru.
Murid-murid tertunduk.

Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan.
Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah
tentang pencapaian besar,
dan kebahagiaan.



Mereka juga belajar satu hal :
" Bersyukurlah dan berbahagialah
setiap kali kita mendengar keberhasilan orang lain.
Sekecil apapun ...
Sebesar apapun ..."

Operator

Waktu saya masih amat kecil,
ayah sudah memiliki telepon di rumah kami.
Inilah telepon masa awal, warnanya hitam,
di tempelkan di dinding,
dan kalau mau menghubungi operator,
kita harus memutar sebuah putaran
dan minta disambungkan dengan nomor telepon lain.
Sang operator akan menghubungkan secara manual.

Dalam waktu singkat, saya menemukan bahwa ,
kalau putaran di putar,
sebuah suara yang ramah, manis, akan berkata :
"Operator"
Dan si operator ini maha tahu.
Ia tahu semua nomor telepon orang lain.!
Ia tahu nomor telepon restoran,
rumah sakit,
bahkan nomor telepon toko kue di ujung kota.

Pengalaman pertama dengan sang operator terjadi
waktu tidak ada seorangpun dirumah,
dan jempol kiri saya terjepit pintu.
Saya berputar putar kesakitan dan memasukkan jempol ini
kedalam mulut tatakala saya ingat ….
operator!!

Segera saya putar bidai pemutar dan menanti suaranya.
"Disini operator…"

"Jempol saya kejepit pintu…" kata saya sambil menangis.
Kini emosi bisa meluap, karena ada yang mendengarkan.

"Apakah ibumu ada di rumah ?"tanyanya.

"Tidak ada orang"

"Apakah jempolmu berdarah ?"

"Tidak , cuma warnanya merah, dan sakiiit sekali"

"Bisakah kamu membuka lemari es ?"tanyanya.

"Bisa, naik di bangku"

"Ambillah sepotong es dan tempelkan pada jempolmu…"

Sejak saat itu saya selalu menelpon operator kalau perlu sesuatu.

Waktu tidak bisa menjawab pertanyaan ilmu bumi,
apa nama ibu kota sebuah Negara,
tanya tentang matematik.
Ia juga menjelaskan bahwa
tupai yang saya tangkap untuk dijadikan binatang peliharaan ,
makannya kacang atau buah.

Suatu hari, burung peliharaan saya mati.
Saya telpon sang operator dan melaporkan berita duka cita ini.

Ia mendengarkan semua keluhan,
kemudian mengutarakan kata kata hiburan
yang biasa diutarakan orang dewasa untuk anak kecil yang sedang sedih.
Tapi rasa belasungkawa saya terlalu besar.

Saya tanya :
"Kenapa burung yang pintar menyanyi
dan menimbulkan sukacita sekarang tergeletak tidak bergerak dikandangnya ?"

Ia berkata pelan :
"Karena ia sekarang menyanyi di surga…"

Kata -kata ini - ngga tau bagaimana - menenangkan saya.

Lain kali saya telpon dia lagi.

"Disini operator"

"Bagaimana mengeja kata kukuruyuk?"

Kejadian ini berlangsung sampai saya berusia 9 tahun.
Kami sekeluarga kemudian pindah kota lain.
Saya sangat kehilangan
"Disini operator"

Saya tumbuh jadi remaja, kemudian anak muda,
dan kenangan masa kecil selalu saya nikmati.
Betapa sabarnya wanita ini.
Betapa penuh pengertian dan mau meladeni anak kecil.

Beberapa tahun kemudian, saat jadi mahasiswa,
saya studi trip ke kota asal.

Segera sesudah saya tiba, saya menelpon kantor telepon,
dan minta bagian
"operator"

"Disini operator"

Suara yang sama.
Ramah tamah yang sama.

Saya tanya :"Bisa ngga eja kata kukuruyuk"

Hening sebentar.
Kemudian ada pertanyaan :
"Jempolmu yang kejepit pintu sudah sembuh kan ?"

Saya tertawa.
"Itu Anda….
Wah waktu berlalu begitu cepat ya"

Saya terangkan juga betapa saya berterima kasih
untuk semua pembicaraan waktu masih kecil.
Saya selalu menikmatinya.

Ia berkata serius :
"Saya yang menikmati pembicaraan dengan mu.
Saya selalu menunggu nunggu kau menelpon"

Saya ceritakan bahwa ,
ia menempati tempat khusus di hati saya.
Saya bertanya apa lain kali boleh menelponnya lagi.

"Tentu, nama saya Saly"

Tiga bulan kemudian saya balik ke kota asal.
Telpon operator.
Suara yang sangat beda dan asing.
Saya minta bicara dengan operator yang namanya Saly.

Suara itu bertanya
"Apa Anda temannya ?"

"Ya teman sangat lama"

"Maaf untuk kabarkan hal ini,
Saly beberapa tahun terakhir bekerja paruh waktu karena sakit sakitan.
Ia meninggal lima minggu yang lalu…"

Sebelum saya meletakkan telepon,
tiba tiba suara itu bertanya :
"Maaf,apakah Anda bernama Paul ?"

"Ya"

"Saly meninggalkan sebuah pesan buat Anda.
Dia menulisnya di atas sepotong kertas, sebentar ya….."

Ia kemudian membacakan pesan Saly :
"Bilang pada Paul, bahwa ia sekarang menyanyi di surga…
Paul akan mengerti kata kata ini…."

Saya meletakkan gagang telepon.
Saya tahu apa yang Saly maksudkan.



Jangan sekali sekali mengabaikan,
bagaimana Anda menyentuh hidup orang lain!!

Pencuri kue

Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam.
Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba.
Untuk membuang waktu,
ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara
lalu menemukan tempat untuk duduk.
Sambil duduk wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya.

Dalam keasyikannya tersebut ia melihat lelaki disebelahnya
dengan begitu berani mengambil satu atau dua
dari kue yang berada diantara mereka.
Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan.

Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam.
Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya.
Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu.
Wanita itupun sempat berpikir kalau aku bukan orang baik,
sudah kutonjok dia!
Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki juga mengambil satu.
Ketika hanya satu kue tersisa,
ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu.

Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup,
si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua.
Si lelaki menawarkan separo miliknya,
sementara ia makan yang separonya lagi.
Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir,
ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga kasar,
malah ia tidak kelihatan berterima kasih.
Belum pernah rasanya ia begitu kesal.

Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan.
Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang.
Menolak untuk menoleh pada si "Pencuri tak tahu terima kasih!".
Ia naik pesawat dan duduk di kursinya,
lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya.

Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget.
Di situ ada kantong kuenya, di depan matanya.
Lho kok kueku masih ada di sini, erangnya dengan patah hati.
Jadi kue tadi memang adalah milik lelaki itu
dan ia mencoba berbagi dengannya.

Terlambat untuk minta maaf, ia tersandar sedih.
Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar,
tak tahu terima kasih dan dialah pencuri kue itu.

Seperti dalam hidup kita ini,
kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi.

Kita sering berprasangka
dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri.
Serta tak jarang kita berprasangka buruk.

Orang lainlah yang kasar,
orang lainlah yang tak tahu diri,
orang lainlah yang jahat,
orang lainlah yang sombong,
orang lainlah yang salah.
Padahal kita sendiri yang mencuri kue tadi,
padahal kita sendiri yang salah,
tapi kita tidak tahu/tidak menyadarinya.

Kita sering mengomentari perbuatan orang lain,
mencemooh tindakan, pendapat atau gagasan orang lain
sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya.

Seringkali kita menyalahkan orang lain
atas kejadian-jadian buruk yang menimpa kita,
tetapi apakah kita menyadari
kalau yang salah sebenarnya adalah kita sendiri ?
apakah pernah terpikir oleh kita
kalau orang lain melakukan itu untuk tujuan yg baik
tidak bermaksud mencelakai kita ?



"Belajarlah untuk mengkoreksi diri kita sendiri,
sebelum kita menyalahkan orang lain."

Harga sebuah baju

Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar
menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang,
turun dari kereta api di Boston,
dan berjalan dengan malu-malu
menuju kantor Pimpinan Harvard University .

Sesampainya disana
sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa
mereka adalah orang kampung, udik,
sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard
dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.

"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut.

"Beliau hari ini sibuk," sahut sang Sekretaris cepat.

"Kami akan menunggu," jawab sang Wanita.

Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka,
dengan harapan bahwa
pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi.
Tetapi nyatanya tidak.

Sang sekretaris mulai frustrasi,
dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.

"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit,
mereka akan pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard.

Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk.
Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka.

Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar
dan pakaian usang diluar kantornya,
rasa tidak senangnya sudah muncul.
Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut.

Sang wanita berkata padanya,
"Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard.
Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini.
Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan.
Kami ingin mendirikan peringatan untuknya,
di suatu tempat di kampus ini. bolehkah?" tanyanya,
dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh,
wajahnya bahkan memerah.
Dia tampak terkejut.

"Nyonya," katanya dengan kasar,
"Kita tidak bisa mendirikan tugu
untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal.
Kalau kita lakukan itu,
tempat ini sudah akan seperti kuburan."

"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat,
"Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan.
Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard."

Sang Pemimpin Harvard memutar matanya.
Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang
yang mereka kenakan dan berteriak,

"Sebuah gedung?!
Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung?
Kalian perlu memiliki lebih dari 7,5 juta dolar
hanya untuk bangunan fisik Harvard."

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam.
Sang Pemimpin Harvard senang.
Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang.

Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan,
"Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas,
mengapa tidak kita buat sendiri saja ?"

Suaminya mengangguk.
Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.
Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi,
melakukan perjalanan ke Palo Alto, California,
di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka,
sebuah peringatan untuk seorang anak
yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard.



Universitas tersebut adalah
Stanford University,
salah satu universitas favorit kelas atas di AS.

Dua Koin Lima Sen dan Lima Koin Satu Sen

Pada waktu es krim sundae masih murah harganya,
seorang anak lelaki berumur 10 tahun masuk ke warung kopi hotel
dan duduk di sebuah meja.
Seorang pelayan menaruh segelas air di depannya.

"Berapa harga es krim sundae?"
"Lima puluh sen," sahut si pelayan.

Si anak kecil mengeluarkan tangannya dari sakunya
lalu menghitung sejumlah koin dalam genggamannya.

"Berapa harga sepiring es krim biasa?" tanyanya.

Sekarang sudah ada pengunjung yang menunggu dicarikan meja kosong
dan si pelayan sudah tak sabar.

"Tiga puluh lima sen," katanya dengan ketus.

Si anak kecil menghitung lagi koinnya.

"Aku pesan es krim biasa saja," katanya.

Si pelayan membawakan es krimnya,
menaruh bon di meja, lalu pergi.
Si anak menghabiskan es krimnya,
membayar di kasir, lalu pergi.

Saat si pelayan kembali, ia mulai mengelap meja,
dan tiba-tiba lehernya terasa tersekat
ketika melihat benda di atas meja itu.

Di situ, di atas meja,
ditaruh dengan rapi, di samping piring kosong,

dua koin lima sen
dan lima koin satu sen
tip untuknya.



--
The Best of Bits & Pieces

Tukang kebun terbaik

Seorang anak lelaki masuk ke sebuah apotek,
menarik peti minuman dan meletakkannya di dekat telepon umum.
Ia naik ke atasnya
sehingga dapat mencapai tombol-tombol yang ada pada telepon.
Lalu mulailah ia menekan tombol sampai tujuh dijit.
Saya menyimak percakapannya.

Ia berkata,
"Bu, apakah Anda membutuhkan bantuan
untuk membersihkan kebun Anda?"

Wanita di telepon itu menjawab,
"Saya sudah membayar seseorang untuk membersihkannya."

"Bu, Anda dapat membayar saya setengah harga saja."

Sepertinya wanita itu sudah puas dengan hasil kerja
dari orang tersebut.
Namun anak itu tak kenal putus asa dan menawarkan,
"Bu, saya juga akan menyapu pinggiran jalan
dan trotoar rumah Anda, sehingga pada hari Minggu nanti
Anda akan memiliki halaman terindah di North Palm Beach, Florida."

Lagi-lagi wanita itu menolak.



Dengan senyum, anak itu meletakkan gagang telepon.

Sang pemilik apotek menghampiri anak itu dan berkata,
"Nak, saya suka sikapmu itu.
Saya mengagumi semangat yang kaumiliki.
Bagaimana kalau kamu bekerja untuk saya saja?"

Anak itu menjawab,
"Tidak, Pak. Terima kasih.
Sebenarnya saya hanya mengecek hasil pekerjaan saya sendiri."

Ketinggian Sejati

Makin besar rintangan,
makin besar keagungan yang diperoleh
dalam mengatasi rintangan tersebut.

Moliere

Bila malam cukup gelap,
kamu baru dapat melihat bintang-bintang.

Charles A. Beard

Telapak tangannya berkeringat.
la memerlukan handuk untuk mengeringkan genggamannya.
Segelas air es menghilangkan dahaga,
tapi hanya sedikit mendinginkan intensitas-nya.
Astroturf yang didudukinya
terasa sepanas persaingan yang dihadapinya hari ini
pada Olimpiade Junior Nasional.

Palang dipasang pada 17 kaki.
Itu 7,5 cm lebih tinggi daripada rekor pribadinya.
Michael Stone menghadapi hari yang paling menantang
dalam karier lompat galahnya.

Stadion masih dipenuhi sekitar 20.000 orang,
meskipun perlombaan terakhir sudah usai sejam sebelumnya.
Lompat galah sesungguhnya nomor yang glamor dalam pertandingan atletik.
Olahraga ini mengkombinasikan keanggunan seorang pesenam
dengan kekuatan seorang binaragawan.

la juga memiliki unsur terbang,
dan pikiran terbang setinggi gedung dua tingkat
hanyalah fantasi semata bagi orang yang menonton nomor itu.
Hari ini dan sekarang,
itu bukan cuma kenyataan dan impian Michael Stone
tapi juga tujuannya.

Sepanjang ingatannya,
Michael selalu bermimpi tentang terbang.
Ibu Michael membacakan banyak cerita tentang terbang
saat ia tumbuh dewasa.
Ceritanya selalu jenis yang menggambarkan dunia dari sudut pandang burung.
Kesenangan dan cintanya akan rincian
membuat impian Michael beraneka warna dan indah.
Michael berulang-ulang mendapat mimpi ini.

la berlari di jalan desa.
la dapat merasakan batu dan gumpalan tanah di kakinya.
Saat ia berlari menembus padang yang dibatasi gandum keemasan,
ia selalu mengalahkan laju lokomotif yang lewat.
Tepat pada saat ia menghela napas panjang,
ia mulai tinggal landas.
la akan mengangkasa seperti elang.

Tujuan terbangnya selalu kebetulan sama dengan cerita ibunya.
Ke mana pun ia terbang,
selalu dengan mata jeli menangkap rincian
dan semangat bebas akan cinta ibunya.

Di pihak lain, ayahnya bukan seorang pemimpi.
Bert Stone adalah orang yang sangat realistis.
la mempercayai kerja keras dan keringat.
Mottonya:

Kalau kamu menginginkan sesuatu,
berusahalah!

Pada usia 14, Michael melakukan itu.
la mulai mengikuti program angkat beban yang sangat hati-hati
dan sistematis.
Ia melakukan olahraga dua hari sekali dengan beban,
diselingi dengan olahraga lari pada hari berikutnya.

Program ini dipantau dengan hati-hati oleh pelatih, penggembleng,
dan ayah Michael.
Pengabdian, keteguhan hati,
dan disiplin Michael itulah yang selalu diimpikan seorang pelatih.

Selain merupakan murid teladan dan anak tunggal,
Michael Stone terus membantu orangtuanya di peternakan mereka.
Ketekunan Michael untuk meraih kesempurnaan bukan hanya obsesinya,
tapi juga cintanya.

Mildred Stone, ibu Michael,
menginginkan anaknya dapat lebih santai
dan kembali menjadi anak kecil yang "bermimpi bebas."

Pada suatu kesempatan,
ia mencoba berbicara padanya dan ayahnya tentang ini,
tapi ayahnya cepat menyela, tersenyum dan berkata,

"Kalau kamu menginginkan sesuatu,
berusahalah!"

Semua galah Michael sekarang kelihatannya adalah
imbalan untuk kerja kerasnya.
Kalau Michael Stone kaget, berdebar,
atau angkuh tentang meloncati palang setinggi 17 kaki, itu sulit dilihat.
Begitu ia mendarat pada matras pendaratan yang menggembung,
dan penonton meloncat berdiri,
Michael langsung mulai bersiap untuk percobaan berikutnya untuk terbang.
la kelihatan tak sadar
bahwa ia sudah melewati rekor pribadinya sebanyak 7,5 cm
dan bahwa ia adalah salah satu dari dua pesaing akhir
dalam nomor lompat galah dalam Olimpiade Junior Nasional.

Saat Michael melompati palang setinggi 523 cm dan 528 cm,
lagi-lagi ia tak menunjukkan emosi.
Persiapan yang konstan dan keteguhan hati adalah visinya.
Saat ia berbaring dan mendengar penonton mengerang,
ia tahu bahwa pelompat satunya gagal dalam lompatan terakhir.
la tahu sudah waktunya untuk lompatan terakhirnya.
Karena pelompat satunya hanya gagal sedikit,
Michael perlu melompati palang ini untuk menang.
Kalau gagal, ia akan jadi juara dua.
Tak perlu malu,
tapi Michael tak membiarkan dirinya
memikirkan tak menjuarai pertandingan.

la berguling dan melakukan upacara push-up tiga jari-nya
dan tiga push-up gaya AL.
la mengambil galahnya,
ber-diri dan melangkah ke jalur yang menuju nomor paling menantang
dalam usianya yang 17 tahun.

Jalur terasa berbeda kali ini,
mengagetkannya sesaat.
Mendadak ia tersadar.
Palang dipasang 23 cm lebih tinggi dari rekor pribadinya.
Itu cuma 2,5 cm lebih rendah dari rekor nasional, pikirnya.
Intensitas saat itu memenuhi pikirannya dengan rasa cemas.
la mulai menggetarkan rasa tegang agar hilang dari tubuhnya.

Tak berhasil.
la malah tambah tegang.
Kenapa harus terjadi sekarang, pikirnya.
la mulai gugup.
Takut mungkin penggambaran yang lebih tepat.
Apa yang harus ia lakukan?
la belum pernah mengalami perasaan seperti ini.

Lalu, tiba-tiba hal itu muncul begitu saja,
dan dari relung terdalam jiwanya,
ia membayangkan ibunya.
Kenapa sekarang?
Sedang apa ibunya muncul dalam pikirannya pada waktu seperti ini?

Sederhana saja.
Ibunya selalu berkata padanya kalau ia merasa tegang, cemas,
atau bahkan takut,
ia harus menghirup napas dalam-dalam.

Jadi, ia pun menghirup napas.
Sambil menggetarkan ketegangan agar hilang dari kakinya,
dengan lembut ia meletakkan galah di kakinya.
la mulai meregangkan tangan dan tubuh atasnya.
Angin semilir yang tadinya bertiup kini menghilang.
la dapat merasakan tetesan keringat dingin di punggungnya.
la memungut galahnya dengan hati-hati.
Dirasakannya jantungnya memukul-mukul.
la yakin, penonton pun demikian.

Kesunyian terasa memekakkan telinga.
Saat ia mendengar nyanyian sayup-sayup burung murai yang sedang terbang,
ia tahu inilah saatnya untuk terbang.
Saat ia mulai berlari di jalur, sesuatu terasa berbeda,
tapi akrab dan menyenangkan.
Permukaan di bawahnya terasa seperti jalanan tanah yang sering ia mimpikan.
Batu dan gumpalan tanah,
bayangan padang gandum keemasan seakan memenuhi pikirannya.
Saat ia menghirup napas dalam-dalam, terjadilah hal itu.

la mulai terbang.
Lepas landasnya begitu mudah, tanpa usaha.
Michael Stone sekarang sedang terbang,
persis mimpi masa kecilnya.
Hanya saja kali ini ia tahu ia tidak bermimpi.
Ini kenyataan.
Semua seakan bergerak lambat.
Udara di sekitarnya semurni dan sesegar yang pernah dirasakannya.
Michael mengangkasa dengan keagungan seekor elang.

Entah ledakan penonton atau gedebuk pendaratannya
yang membawa Michael kembali ke bumi.
la telentang dengan matahari terasa hangat pada wajahnya,
ia tahu ia hanya dapat membayangkan senyum pada wajah ibunya.
Ia tahu ayahnya mungkin sedang tersenyum juga, atau malah tertawa.
Bert selalu begitu kalau dia senang,
tersenyum lalu cekikikan.
Yang ia tak tahu ialah
ayahnya sedang memeluk istrinya dan menangis.
Tepat sekali:
Bert "Kalau Kamu Ingin, Berusahalah". Stone sedang menangis
seperti bayi dalam pelukan istrinya.
la menangis lebih keras dari yang pernah dilihat Mildred sebelumnya.
Mildred juga tahu ia sedang mengucurkan air mata paling hebat:
air mata kebanggaan.




Michael langsung dikelilingi orang yang memeluk
dan memberinya selamat atas prestasi terbesar dalam hidupnya.
Kemudian, ia berhasil melompati 535 cm:
rekor nasional dan rekor Olimpiade Junior Internasional.
Dengan semua perhatian media,
kemungkinan santunan dan kerumunan dengan ucapan selamat yang tulus,
hidup Michael tak akan sama lagi.
Bukan karena ia memenangkan Olimpiade Junior Nasional
dan memecahkan rekor dunia.
Dan bukan karena ia memperbaiki rekor pribadinya sebanyak 24 cm.
Tapi,
karena Michael Stone seorang yang buta.

David Naster

Bola golf dalam kantung kertas

Seorang pemain profesional bertanding dalam sebuah turnamen golf.
Ia baru saja membuat pukulan yang bagus sekali
yang jatuh didekat lapangan hijau.

Ketika ia berjalan di fairway,
ia mendapati bolanya masuk kedalam sebuah kantong kertas pembungkus makanan
yang mungkin dibuang sembarangan oleh salah seorang penonton.
Bagaimanaia bisa memukul bola itu dengan baik?

Sesuai dengan peraturan turnamen,
jika ia mengeluarkan bola dari kantong kertas itu, ia terkena pukulan
hukuman.
Tetapi kalau ia memukul bola bersama-sama dengan kantong kertas itu,
ia tidak akan bisa memukul dengan baik.
Salah-salah, ia mendapatkan skor yang lebih buruk lagi.
Apa yang harus dilakukannya?

Banyak pemain mengalami hal serupa.
Hampir seluruhnya memilih untuk mengeluarkan bola dari kantong kertas itu
dan menerima hukuman.
Setelah itu mereka bekerja keras sampai ke akhir turnamen
untuk menutup hukuman tadi.
Hanya sedikit, bahkan mungkin hampir tidak ada,
pemain yang memukul bola bersama kantong kertas itu.
Resikonya terlalu besar.
Namun, pemain profesional kita kali ini tidak memilih satu di antara
dua kemungkinan itu.

Tiba-tiba ia merogoh sesuatu dari saku celananya
dan mengeluarkan sekotak korek api.
Lalu ia menyalakan satu batang korek api
dan membakar kantong kertas itu.
Ketika kantong kertas itu habis terbakar,
ia memilih tongkat yang tepat, membidik sejenak,mengayunkan tongkat, wus,
bola terpukul dan jatuh persis kedalam lobang di lapangan hijau.
Bravo!
Dia tidak terkena hukuman dan tetap bisa mempertahankan posisinya.
Smiley...!





Ada orang yang menganggap kesulitan sebagai hukuman,
dan memilih untuk menerima hukuman itu.
Ada yang mengambil resiko untuk melakukan kesalahan bersama kesulitan itu.
Namun, sedikit sekali yang bisa berpikir kreatif
untuk menghilangkan kesulitan itu dan menggapai
kemenangan...

Bopsy

Ibu berusia 26 tahun itu memandangi anak laki-lakinya
yang tengah menghadapi kematiannya akibat leukemia yang parah.
Meski hatinya diliputi kesedihan,
ia pun memiliki ketegaran hati yang besar.

Tak ubahnya orang tua mana pun,
ia menginginkan anaknya tumbuh dewasa dan menjelmakan impian-impiannya sendiri.
Kini hal itu tidak mungkin lagi.
Namun ia tetap menghendaki impian-impian anak laki-lakinya terwujud.

Ia meraih tangan anaknya dan bertanya,
"Bopsy, apakah kamu pernah bercita-cita
untuk menjadi sesuatu saat kamu besar?
Pernahkah kamu bermimpi dan berangan-angan
tentang apa yang akan menjadi pekerjaanmu?"

"Mami, aku selalu berangan-angan
untuk menjadi anggota pasukan pemadam kebakaran bila aku sudah dewasa."

Sang mami tersenyum kembali dan berkata,
"Mari kita lihat apakah kita dapat membuat impianmu menjadi kenyataan."

Pada hari itu juga ia pergi ke kantor pemadam kebakaran di Phoenix, Arizona,
di mana ia menemui anggota pasukan pemadam kebakaran,
Bob, yang hatinya sebesar Phoenix.
Ia menjelaskan keinginan terakhir anaknya
dan menanyakan adakah kemungkinan untuk memberikan tumpangan kepada anaknya
yang berusia enam tahun untuk mengelilingi blok itu
di atas mobil pemadam kebakaran.

Bob berkata,
"Begini, kami dapat melakukan hal yang lebih baik daripada itu.
Kalau Anda dapat mempersiapkan anak Anda pada pukul tujuh pada Rabu pagi,
kami akan mengangkatnya menjadi anggota kehormatan
dalam pasukan pemadam kebakaran untuk hari itu.
Dia dapat mengunjungi stasiun pemadam kebakaran,
makan bersama kami,
pergi keluar menanggapi semua panggilan kebakaran,
di sepanjang jarak sembilan yar!
Dan, jika Anda memberitahu kami tentang ukuran badannya,
kami akan membuat seragam pasukan pemadam kebakaran sungguhan untuk dia,
dengan topi kebakaran sungguhan bukan topi mainan
dengan emblem Kantor Pemadam Kebakaran Phoenix di atasnya,
jas hujan kuning seperti yang kami pakai
dan sepatu but dari karet.
Itu semua dibuat di Phoenix sini,
jadi kami dapat memperoleh-nya dengan cepat."

Tiga hari kemudian Bob menjemput Bopsy,
mendandani-nya dengan seragam pemadam kebakaran
dan mengiringi-nya dari ranjang rumah sakit ke dalam truk bertangga.
Bopsy dapat duduk di dalam truk itu dan membantu mengemudikannya
kembali ke stasiun pemadam kebakaran.
Dia serasa berada di surga.

Ada tiga panggilan kebakaran di Phoenix hari itu
dan Bopsy diajak pergi ke luar untuk menjawab ketiga panggilan itu.
Dia naik mobil pemadam kebakaran yang berlainan,
van paramedis dan bahkan mobil kepala pasukan pemadam kebakaran.
Dia juga disorot kamera video untuk program berita lokal.

Terjelmanya impiannya,
dengan seluruh kasih sayang dan perhatian yang melimpahinya,
membuat Bopsy sangat tersentuh sehingga ia hidup tiga bulan lebih lama
daripada yang diramalkan dokter mana pun.

Suatu malam seluruh tanda kehidupannya merosot secara dramatis,
dan kepala perawat, yang percaya pada konsep bahwa
tak seorang pun boleh dibiarkan mati sendirian,
mulai memanggil para anggota keluarganya ke rumah sakit.
Kemudian ia ingat bahwa dulu Bopsy pernah menghabiskan waktunya seharian
sebagai anggota pasukan pemadam kebakaran,
maka kepala perawat itu pun memanggil kepala pasukan pemadam kebakaran
dan ia pun menanyakan kemungkinan untuk mengirimkan
seorang anggota pasukan pemadam kebakaran dalam baju seragamnya
ke rumah sakit untuk mendampingi Bopsy pada saat-saat terakhirnya.

Kepala pasukan pemadam kebakaran itu menjawab,
"Kami dapat berbuat lebih banyak daripada itu.
Kami akan berada di sana lima menit lagi.
Maukah Anda membantu saya?
Ketika Anda mendengar bunyi sirene dan melihat lampu berkedip-kedip,
maukah Anda memberitahukan lewat pengumuman bahwa
itu bukan karena suatu kebakaran?
Itu hanya pasukan pemadam kebakaran yang datang
untuk mengunjungi kembali salah satu anggota terbaiknya.
Dan maukah Anda membuka jendela kamarnya?
Terima kasih."

Kira-kira lima menit berselang
sebuah truk bertangga tiba di rumah sakit,
menjulurkan tangganya ke jendela kamar Bopsy yang terbuka di lantai ketiga,
dan empat belas anggota laki-laki
serta dua anggota perempuan dari pasukan pemadam kebakaran
memanjat ke dalam ruangan Bopsy.

Dengan izin ibunya,
mereka memeluknya dan memegangnya,
dan mengatakan betapa mereka menyayanginya.

Dengan nafasnya yang penghabisan,
Bopsy memandang kepala pasukan pemadam kebakaran dan bertanya,
"Pak Kepala, apakah saya benar-benar
sudah menjadi anggota pasukan pemadam kebakaran sekarang?"

"Ya, Bopsy,"
kata si kepala pasukan kebakaran.



Dengan kata-kata itu,
Bopsy tersenyum dan menutup matanya selama-lamanya.

Jack Canfield dan Mark V. Hansen

Sang Optimis Abadi

Kami beruntung telah dikaruniai tiga orang putra.
Mereka semua membawa kebahagiaan istimewa bagi kami
dengan kepribadian mereka masing-masing,
tapi anak kami yang tengah,
Billy,
dikenal sebagai "sang optimis abadi."

Seandainya saja kami yang berjasa menumbuhkan sikap ini,
tapi ternyata dia dilahirkan dengan sikap seperti itu!
Misalnya, ia selalu suka bangun pagi
dan senang masuk ke ranjang kami pada jam 5 pagi.

Saat ia merangkak ke dalam ranjang,
kami menegurnya supaya ia jangan ribut dan kembali tidur.
Ia berbaring terlentang dan berbisik dengan suara tinggi,

"Pagi ini pasti menyenangkan.
Aku mendengar burung-burung bernyanyi."

Waktu kami memintanya berhenti berbicara,
ia menyahut,
"Aku tidak bicara dengan Mama dan Papa
aku sedang bicara sendiri!"

Di TK, ia diminta menggambar harimau.
Billy memang memiliki sifat optimisme yang kuat,
tetapi ia tidak memiliki cita rasa seni,
dan harimaunya tergambar dengan kepala bengkok
dan salah satu matanya kelihatan terpejam.

Waktu gurunya bertanya mengapa harimaunya memejamkan sebelah mata,
ia menyahut,
"Soalnya dia bilang,
'Aku lagi ngintip kamu, nak!'"

Kemudian, waktu ia berumur lima tahun,
ia bertengkar dengan abangnya tentang
apakah seorang lelaki di TV itu botak.

Billy berkata, "Dia tidak botak.
Dia seperti Papa.
Dia cuma botak kalau sedang melihat kamu.
Kalau dia pergi, dia punya banyak rambut."

Semua kenangan ini, dan banyak lagi yang lainnya menunjukkan
sikap seorang optimis yang amat hebat.

Anak bungsu kami, Tanner,
terkena penyakit sindrom uremik hemolitik pada hari Selasa
dan meninggal pada hari Minggunya.

Billy berusia tujuh tahun saat itu.
Pada malam setelah pemakaman Tanner,
aku sedang menidurkan Billy.
Biasanya aku suka berbaring di sebelahnya
dan membicarakan hari yang baru lewat.





Pada malam tersebut,
kami berbaring diam di kegelapan,
tak banyak berkata-kata.
Mendadak, dalam gelap,
Billy berbicara.

Katanya, "Aku kasihan pada kita,
tapi aku lebih kasihan pada semua orang lain."

Aku menanyakan, orang mana yang dia maksudkan.

la menjelaskan,
"Orang yang tak pernah kenal Tanner.
Kita kan beruntung bisa bersama Tanner selama 20 bulan.

Coba pikir,
ada banyak orang yang tidak cukup beruntung untuk bisa mengenalnya.
Kita sungguh-sungguh orang yang beruntung."

==
Beth Dalton