Meja Kayu

Suatu ketika,
ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya.
Selain itu, tinggal pula menantu,
dan anak mereka yang berusia 6 tahun.
Tangan orangtua ini begitu rapuh,
dan sering bergerak tak menentu.
Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih.

Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan.
Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya.
Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun,
membuatnya susah untuk menyantap makanan.
Sendok dan garpu kerap jatuh Ke bawah.

Saat si kakek meraih gelas,
segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.
Anak dan menantunya pun menjadi gusar.
Mereka merasa direpotkan dengan semua ini.

"Kita harus lakukan sesuatu," ujar sang suami.
"Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini."

Lalu,
kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan.
Di sana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian,
saat semuanya menyantap makanan.
Karena sering memecahkan piring,
keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek.





Sering saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka,
terdengar isak sedih dari sudut ruangan.
Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek.
Meski tak ada gugatan darinya.
Tiap kali nasi yang dia suap,
selalu ditetesi air mata yang jatuh dari sisi pipinya.
Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan
agar ia tak menjatuhkan makanan lagi.

Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam.
Suatu malam, sebelum tidur,
sang ayah memperhatikan anaknya
yang sedang memainkan mainan kayu.
Dengan lembut ditanyalah anak itu.
"Kamu sedang membuat apa?".

Anaknya menjawab,
"Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu,
untuk makan saatku besar nanti.
Nanti, akan kuletakkan di sudut itu,
dekat tempat kakek biasa makan."
Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul.
Mereka tak mampu berkata-kata lagi.
Lalu, airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka.
Walau tak ada kata-kata yang terucap,
kedua orangtua ini mengerti,
ada sesuatu yang harus diperbaiki.

Mereka makan bersama di meja makan.
Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh,
makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda.
Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.
Dan anak itu, tak lagi meraut untuk membuat meja kayu.




Sahabat,
anak-anak adalah persepsi dari kita.
Mata mereka akan selalu mengamati,
telinga mereka akan selalu menyimak,
dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan.

Mereka adalah peniru.
Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan,
hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak.
Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari,
setiap "bangunan jiwa" yang disusun,
adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak.

Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak.
Untuk anak-anak kita,
untuk masa depan kita, untuk semuanya.
Sebab, untuk merekalah kita akan selalu belajar,
bahwa berbuat baik pada orang lain,
adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.

Jika anak hidup dalam kritik,
ia belajar mengutuk.
Jika anak hidup dalam kekerasan,
ia belajar berkelahi.
Jika anak hidup dalam pembodohan,
ia belajar jadi pemalu.
Jika anak hidup dalam rasa dipermalukan,
ia belajar terus merasa bersalah.
Jika anak hidup dalam toleransi,
ia belajar menjadi sabar.
Jika anak hidup dalam dorongan,
ia belajar menjadi percaya diri.
Jika anak hidup dalam penghargaan,
ia belajar mengapresiasi.
Jika anak hidup dalam rasa adil,
ia belajar keadilan.
Jika anak hidup dalam rasa aman,
ia belajar yakin.
Jika anak hidup dalam persetujuan,
ia belajar menghargai diri sendiri.
Jika anak hidup dalam rasa diterima dan persahabatan,
ia belajar mencari cinta di seluruh dunia.

I miss you so much

Hukum kekekalan energi dan semua agama menjelaskan bahwa
apapun yang kita lakukan pasti akan dibalas sempurna kepada kita.
Apabila kita melakukan energi positif atau kebaikan
maka kita akan mendapat balasan berupa kebaikan pula.
Begitu pula bila kita melakukan energi negatif atau keburukan
maka kitapun akan mendapat balasan berupa keburukan pula.

Kali ini izinkan saya menceritakan sebuah pengalaman
pribadi yang terjadi pada 2003.

Pada September-Oktober 2003
isteri saya terbaring di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Sudah tiga pekan para dokter belum mampu
mendeteksi penyakit yang diidapnya.
Dia sedang hamil 8 bulan.
Panasnya sangat tinggi.
Bahkan sudah satu pekan isteri saya telah terbujur di ruang ICU.
Sekujur tubuhnya ditempeli kabel-kabel
yang tersambung ke sebuah layar monitor.

Suatu pagi saya dipanggil oleh dokter yang merawat isteri saya.

Dokter berkata,
"Pak Jamil, kami mohon izin untuk mengganti obat ibu".

Sayapun menjawab
"Mengapa dokter meminta izin saya?
Bukankan setiap pagi saya membeli berbagai macam obat di apotek
dokter tidak meminta izin saya"

Dokter itu menjawab
"Karena obat yang ini mahal Pak Jamil."

"Memang harganya berapa dok?" Tanya saya.

Dokter itu dengan mantap menjawab
"Dua belas juta rupiah sekali suntik."

"Haahh 12 juta rupiah dok,
lantas sehari berapa kali suntik, dok?

Dokter itu menjawab,
"Sehari tiga kali suntik pak Jamil".

Setelah menarik napas panjang saya berkata,
"Berarti satu hari tiga puluh enam juta, dok?"
Saat itu butiran air bening mengalir di pipi.

Dengan suara bergetar saya berkata,
"Dokter tolong usahakan sekali lagi mencari penyakit isteriku,
sementara saya akan berdoa kepada Yang Maha Kuasa
agar penyakit istri saya segera ditemukan."

"Pak Jamil kami sudah berusaha semampu kami
bahkan kami telah meminta bantuan berbagai laboratorium
dan penyakit istri Bapak tidak bisa kami deteksi secara tepat,

kami harus sangat hati-hati memberi obat
karena istri Bapak juga sedang hamil 8 bulan,
baiklah kami akan coba satu kali lagi
tapi kalau tidak ditemukan
kami harus mengganti obatnya, pak." jawab dokter.

Setelah percakapan itu usai,
saya pergi menuju mushola kecil dekat ruang ICU.
Saya melakukan sembahyang dan saya berdoa,

"Ya Allah Ya Tuhanku...
aku mengerti bahwa Engkau pasti akan menguji semua hamba- Mu,
akupun mengerti bahwa setiap kebaikan yang aku lakukan
pasti akan Engkau balas
dan akupun mengerti bahwa setiap keburukan yang pernah aku lakukan
juga akan Engkau balas.
Ya Tuhanku...
gerangan keburukan apa yang pernah aku lakukan
sehingga Engkau uji aku dengan sakit isteriku yang berkepanjangan,
tabunganku telah terkuras,
tenaga dan pikiranku begitu lelah.
Berikan aku petunjuk Ya Tuhanku.
Engkau Maha Tahu
bahkan Engkau mengetahui setiap guratan urat di leher nyamuk.
Dan Engkaupun mengetahui hal yang kecil dari itu.
Aku pasrah kepada Mu Ya Tuhanku.
Sembuhkanlah istriku.
Bagimu amat mudah menyembuhkan istriku,
semudah Engkau mengatur milyaran planet di jagat raya ini."

Ketika saya sedang berdoa itu
tiba-tiba terbersit dalam ingatan akan kejadian puluhan tahun yang lalu.
Ketika itu, saya hidup dalam keluarga yang miskin papa.
Sudah tiga bulan saya belum membayar biaya sekolah
yang hanya Rp. 25 per bulan.
Akhirnya saya memberanikan diri mencuri uang ibu saya
yang hanya Rp. 125.
Saya ambil uang itu,
Rp 75 saya gunakan untuk membayar SPP,
sisanya saya gunakan untuk jajan.

Ketika ibu saya tahu bahwa uangnya hilang
ia menangis sambil terbata berkata,
"Pokoknya yang ngambil uangku kualat...
yang ngambil uangku kualat..."
Uang itu sebenarnya akan digunakan membayar hutang oleh ibuku.
Melihat hal itu saya hanya terdiam
dan tak berani mengaku bahwa sayalah yang mengambil uang itu.

Usai berdoa saya merenung, "
Jangan-jangan inilah hukum alam dan ketentuan Yang Maha Kuasa
bahwa bila saya berbuat keburukan
maka saya akan memperoleh keburukan.
Dan keburukan yang saya terima adalah
penyakit isteri saya ini
karena saya pernah menyakiti ibu saya
dengan mengambil uang yang ia miliki itu."

Setelah menarik nafas panjang saya tekan nomor telepon rumah
dimana ibu saya ada di rumah menemani tiga buah hati saya.
Setelah salam dan menanyakan kondisi anak-anak di rumah,
maka saya bertanya kepada ibu saya
"Bu, apakah ibu ingat ketika ibu kehilangan uang
sebayak seratus dua puluh lima rupiah
beberapa puluh tahun yang lalu?"

"Sampai kapanpun ibu ingat Mil.
Kualat yang ngambil uang itu Mil,
Uang itu sangat ibu perlukan untuk membayar hutang,
kok ya tega- teganya ada yang ngambil,"
jawab ibu saya dari balik telepon.

Mendengar jawaban itu saya menutup mata perlahan,
butiran air mata mengalir di pipi.

Sambil terbata saya berkata,
"Ibu, maafkan saya...
yang ngambil uang itu saya, bu...
saya minta maaf sama ibu.
Saya minta maaaaf...
saat nanti ketemu saya akan sungkem sama ibu,
saya jahat telah tega sama ibu."

Suasana hening sejenak.
Tidak berapa lama kemudian dari balik telepon
saya dengar ibu saya berkata:

"Ya Tuhan pernyataanku aku cabut,
yang ngambil uangku tidak kualat,
aku maafkan dia.
Ternyata yang ngambil adalah anak laki-lakiku.
Jamil kamu nggak usah pikirin dan doakan saja isterimu
agar cepat sembuh."

Setelah memastikan bahwa ibu saya telah memaafkan saya,
maka saya akhiri percakapan dengan memohon doa darinya.

Kurang lebih pukul 12.45 saya dipanggil dokter,
setibanya di ruangan sambil mengulurkan tangan kepada saya
sang dokter berkata
"Selamat pak,
penyakit isteri bapak sudah ditemukan, infeksi pankreas.
Ibu telah kami obati dan panasnya telah turun,
setelah ini kami akan operasi untuk mengeluarkan bayi dari perut ibu."

Bulu kuduk saya merinding mendengarnya,
sambil menjabat erat tangan sang dokter saya berkata.
"Terima kasih dokter,
semoga Tuhan membalas semua kebaikan dokter."



Saya meninggalkan ruangan dokter itu....
dengan berbisik pada diri sendiri

"Ibu, I miss you so much."

Sumber: "Ibu, I Miss You So Much" oleh Jamil Azzaini, Senior Trainer dan
penulis buku Best Seller 'KUBIK LEADERSHIP; Solusi Esensial Meraih
Sukses dan Kemuliaan Hidup'.

Gratis

Pada suatu sore,
putra kami menghampiri ibunya di dapur,
yang sedang menyiapkan makan malam,
dan ia menyerahkan selembar kertas yang sudah ditulisinya.

Setelah ibunya mengeringkan tangannya pada celemek,
ia membacanya
dan inilah tulisan si anak:

Untuk memotong rumput
$5.00

Untuk membersihkan kamar minggu ini
$1.00

Untuk pergi ke toko menggantikan Mama
$0.50

Untuk menjaga adik waktu Mama belanja
$0.25

Untuk membuang sampah
$1.00

Untuk rapor yang bagus
$5.00

Untuk membersihkan dan menyapu halaman
$2.99

Jumlah utang: $14.75

Si ibu memandang si anak yang berdiri di situ dengan penuh harap,
dan aku bisa melihat berbagai kenangan terkilas dalam pikiran istriku.
Jadi, ia mengambil bolpen,
membalikkan kertasnya,
dan inilah yang dituliskannya.

Untuk sembilan bulan ketika Mama mengandung kamu
selama kamu tumbuh di dalam perut Mama,
Gratis.

Untuk semua malam ketika Mama menemani kamu,
mengobati kamu,
dan mendoakan kamu,
Gratis.

Untuk semua saat susah,
dan semua air mata yang kamu sebabkan selama ini,
Gratis.

Kalau dijumlahkan semua, harga cinta Mama adalah
Gratis.

Untuk semua malam yang dipenuhi rasa takut
dan untuk rasa cemas di waktu yang akan datang,
Gratis.

Untuk mainan,
makanan,
baju,
dan juga menyeka hidungmu,
Gratis, Anakku.

Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya,
harga cinta sejati Mama adalah
Gratis.

Yah, teman-teman,
ketika anak kami selesai membaca yang ditulis ibunya,
air matanya berlinang,
dan ia menatap wajah ibunya dan berkata,

"Ma, aku sayang sekali sama Mama."

Dan kemudian ia mengambil bolpen
dan menulis dengan huruf besar-besar:

"LUNAS."





==
M. Adams

How much I love you

Seorang ibu muda,
Karen namanya, sedang mengandung bayinya yang kedua.
Sebagaimana layaknya para ibu,
Karen membantu Angelina, putrinya yang pertama
yang baru berusia 3 tahun, untuk menerima kehadiran adiknya.
Angelina senang sekali.
Kerap kali ia menempelkan telinganya di perut ibunya.
Dan karena Angelina suka bernyanyi,
ia pun sering menyanyi bagi adiknya yang masih di perut ibunya itu.

Tiba saatnya bagi Karen untuk melahirkan.
Tapi sungguh di luar dugaan, terjadi komplikasi serius.
Baru setelah perjuangan berjam-jam
adik Angelina dilahirkan.
Seorang bayi laki-laki yang tampan,
sayang kondisinya begitu buruk
sehingga dokter yang merawat dengan sedih berterus terang kepada Karen,
"Bersiaplah jika sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi."

Karen dan suaminya berusaha menerima keadaan dengan sabar
dan hanya bisa pasrah kepada yang Kuasa.
Mereka bahkan sudah menyiapkan acara penguburan buat putranya
bila sewaktu-waktu dipanggil Tuhan.

Lain halnya dengan Angelina.
Sejak adiknya dirawat di ICU ia merengek terus!
"Mami... aku mau nyanyi buat adik kecil!"

Ibunya kurang tanggap.

"Mami... aku pengen nyanyi!!"

Karen terlalu larut dalam kesedihan dan kekuatirannya.

"Mami.... aku kepengen nyanyi!!!"

Hal itu berulang kali diminta Angelina bahkan sambil meraung menangis.
Karen tetap menganggap rengekan Angelina sebagai rengekan anak kecil.
Lagi pula ICU adalah daerah terlarang bagi anak-anak.
Baru ketika harapan menipis, sang ibu mau mendengarkan Angelina.

"Baik, setidaknya biar Angelina melihat adiknya
untuk yang terakhir kalinya.
Mumpung adiknya masih hidup!" batinnya.

Ia dicegat oleh suster di depan pintu kamar ICU.
"Anak kecil dilarang masuk!"

Karen ragu-ragu.
"Tapi, suster...."

suster tak mau tahu. "Ini peraturan!
Anak kecil dilarang dibawa masuk!"

Karen menatap tajam suster itu, lalu berkata,
"Suster, sebelum diizinkan bernyanyi buat adiknya,
Angelina tidak akan kubawa pergi!
Mungkin ini yang terakhir kalinya bagi Angelina melihat adiknya!"

Suster terdiam menatap Angelina dan berkata,
"Tapi tidak boleh lebih dari lima menit!"

Demikianlah,
kemudian Angelina dibungkus dengan pakaian khusus
lalu dibawa masuk ke ruang ICU.
Ia didekatkan pada adiknya yang sedang tergolek dalam sakratul maut.
Angelina menatap lekat adiknya...
Lalu dari mulutnya yang kecil mungil
keluarlah suara nyanyian yang nyaring

"You are my sunshine,
my only sunshine,
you make me happy
when skies are grey...."

Ajaib!
Si Adik langsung memberi respon.
Seolah ia sadar akan sapaan sayang dari kakaknya.

"You never know, dear,
How much I love you.
Please don't take my sunshine away."

Denyut nadinya menjadi lebih teratur.
Karen dengan haru melihat dan menatapnya dengan tajam dan,
"Terus.... terus Angelina! Teruskan sayang...,"
bisik ibunya sambil menangis.

"The other night, dear,
as I laid sleeping, I dreamt, I held you in my..."

Dan, Sang adikpun meregang,
seolah menghela napas panjang.
Pernapasannya lalu menjadi teratur...

" I'll always love you
and make you happy,
if you will only stay the same..."

Sang adik kelihatan begitu tenang,
sangat tenang.

"Lagi sayang..." bujuk ibunya sambil mencucurkan air matanya.
Angelina terus bernyanyi dan....
adiknya kelihatan semakin tenang,
rileks dan damai...
lalu tertidur lelap.

Suster yang tadinya melarang untuk masuk,
kini ikut terisak-isak menyaksikan apa yang telah terjadi
atas diri adik Angelina dan kejadian yang baru saja ia saksikan sendiri.

Hari berikutnya, satu hari kemudian,
si adik bayi sudah diperbolehkan pulang.
Para tenaga medis tak habis pikir
atas kejadian yang menimpa pasien yang satu ini.
Mereka hanya bisa menyebutnya sebagai sebuah terapi ajaib,
dan Karen juga suaminya melihatnya sebagai
mujizat Kasih Ilahi yang luar biasa,
sungguh amat luar biasa!

Bagi sang adik, kehadiran Angelina berarti
soal hidup dan mati.
Benar bahwa memang Kasih Ilahi yang menolongnya.
Dan ingat Kasih Ilahi pun membutuhkan mulut kecil Angelina
untuk mengatakan
"How much I love you".




Dan ternyata Kasih Ilahi membutuhkan pula
hati polos seorang anak kecil "Angelina" untuk memberi kehidupan.
Itulah kehendak Tuhan,
tidak ada yang mustahil bagi-NYA bila IA menghendaki terjadi.

Esai Tommy

Sebuah sweater kelabu tergantung lemas
pada meja Tommy yang kosong,
sebuah peringatan tentang seorang anak murung
yang baru saja keluar dari ruang kelas tiga
bersama teman-teman sekelasnya.

Sebentar lagi orangtua Tommy, yang baru saja berpisah,
akan tiba menghadiri pertemuan
untuk membahas prestasi belajarnya yang menurun
dan sikapnya yang suka mengacau di kelas.

Ayah dan ibu Tommy masing-masing tidak tahu
bahwa aku memanggil mereka berdua.

Tommy, seorang anak tunggal,
tadinya adalah murid yang periang,
mau bekerja sama,
dan berprestasi baik.
Bagaimana aku bisa meyakinkan orangtuanya
bahwa nilainya yang menurun belakangan ini
adalah cerminan reaksi si anak yang patah hati
akibat perpisahan orangtua yang disayanginya
dan yang sebentar lagi akan bercerai?

Ibu Tommy masuk,
lalu duduk di kursi yang kutempatkan di dekat mejaku.
Tak lama kemudian, ayah Tommy tiba.

Bagus!
Setidaknya mereka cukup merisaukan anak mereka
sehingga mau cepat datang.

Terlihat perasaan kaget dan kesal di antara mereka,
dan kemudian mereka jelas-jelas saling mengabaikan.

Selagi aku memberikan keterangan rinci
tentang sikap dan prestasi Tommy,
aku berdoa agar bisa mengucapkan kata-kata yang tepat
untuk mempersatukan keduanya,
untuk membantu mereka
melihat akibat perbuatan mereka terhadap Tommy.

Tapi, entah kenapa,
kata-kata itu tak muncul.
Mungkin lebih baik kalau mereka melihat karya Tommy
yang ceroboh dan kotor.

Aku menemukan selembar kertas kusut
dan terkotori air mata disumpalkan ke belakang mejanya,
sebuah tugas Bahasa Inggris.
Tulisan memenuhi kedua halamannya
bukan uraian tugasnya,
melainkan sebuah kalimat yang dicoretkan berulang-ulang.

Aku meratakan kertas itu tanpa berbicara,
lalu memberikannya kepada ibu Tommy.

la membacanya,
lalu menyerahkannya kepada suaminya tanpa berkata-kata.
Sang suami mengerutkan dahi.
Kemudian, wajahnya melembut.
la mempelajari goresan kata-kata itu selama seabad rasanya.

Akhirnya, ia melipat kertas itu dengan hati-hati,
mengantunginya,
dan meraih tangan istrinya yang terulur.

Ibu Tommy mengusap air matanya dan tersenyum pada suaminya.
Air mataku pun berlinang,
tapi keduanya tak memperhatikan.
Sang suami membantu istrinya memakai jaket,
lalu mereka pergi bersama-sama.




Dengan cara-Nya sendiri,
Tuhan telah memberiku kata-kata
untuk mempersatukan keluarga itu.

la membimbing saya kepada selembar kertas kuning
yang dipenuhi dengan luapan penuh derita
dari hati seorang anak yang penuh kesusahan.

Kata-kata itu,

"Mama Sayang ...
Papa Sayang ...
aku sayang kalian ...
aku sayang kalian ...
aku sayang kalian."


==
Jane Lindstrom

Karpet

Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki.
Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan
rumah dapat ditanganinya dengan baik.
Rumah tampak selalu rapih, bersih & teratur dan suami
serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yg pembersih ini sangat tidak
suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan
marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak
sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan
berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki
di rumah, hal ini mudah sekali terjadi terjadi dan menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog
bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya.
Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian,
Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu :

"Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan
saya katakan" Ibu itu kemudian menutup matanya.

"Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang
bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa
jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?"
Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah,
mukanya yg murung berubah cerah. Ia tampak senang
dengan bayangan yang dilihatnya.

Virginia Satir melanjutkan; "Itu artinya tidak ada
seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak,
tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka.
Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi".
Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung
menghilang, napasnya mengandung isak.
Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas
membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan
anak-anaknya.

"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu
& kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada
di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan
kehadiran mereka menghangatkan hati ibu".
Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman
dengan visualisasi tsb.

"Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya
"Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah
buat ibu?"

Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu maksud anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat
dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif
dapat dilihat secara positif".

Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal
karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu
disana, ia tahu, keluarga yg dikasihinya ada di rumah.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah
seorang psikolog terkenal yang mengilhami
Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP
(Neurolinguistic Programming) . Dan teknik yang
dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana
kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita sehingga
sesuatu yg tadinya negatif dapat menjadi positif,
salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.

Ayahmu, Kok Aneh Sih?

Pernahkah seseorang berkata,
"Penting bagi kita untuk mengurangi waktu
untuk memikirkan bagaimana penampilan kita
dan menyediakan waktu lebih banyak
untuk memikirkan bagaimana kita melihat"?
Jika tidak, harus ada yang berkata demikian.

Carmen Richardson Rutlen

Aku telah duduk di SMU
ketika tiba-tiba sadar bahwa ayah-ku memiliki cacat sejak lahir.
Dahulu bibirnya sumbing
dan langit-langitnya tidak menutup sempurna,
tetapi bagiku ia selalu tampak sebagaimana adanya sejak aku dilahirkan.

Aku masih ingat,
sesudah memberinya ciuman selamat malam,
ketika aku masih kecil,
aku bertanya apakah hidungku akan menjadi pesek kalau sering berciuman.
la meyakinkan aku bahwa itu tidak akan terjadi,
tetapi aku teringat dengan kerlip pada matanya.
Aku yakin ia sedang mengagumi seorang putri
yang begitu menyayanginya sehingga sang putri mengira bahwa
ciuman-ciumannya, bukan operasi sebanyak tiga puluh tiga kali,
yang telah mengubah wajahnya.

Ayahku orang yang ramah,
sabar, bijaksana, dan penyayang.
la pahlawanku dan cinta pertamaku.
Kalau bertemu dengan seseorang,
ia tidak pernah mempermasalahkan kekurangan-kekurangannya.
la tahu nama pertama baik setiap petugas kebersihan,
setiap sekretaris, maupun setiap CEO.
Sebenarnya, kukira ia paling menyukai petugas kebersihan.
la selalu bertanya tentang keluarga mereka,
yang menurut mereka akan memenangkan penghargaan kelas dunia
dalam hal mengatasi bagaimana hidup memperlakukan mereka.

la selalu menyediakan waktu
untuk mendengarkan tanggapan-tanggapan mereka
dan mengingat jawaban-jawaban mereka.

Ayah tidak pernah membiarkan ketidaksempurnaan fisik mengatur hidupnya.
Ketika ia dianggap terlalu tidak menarik untuk pekerjaan sebagai penjual,
ia mengambil sepeda,
menjadi pengantar barang dan menciptakan rutenya sendiri.

Ketika angkatan darat tidak menerima lamarannya,
ia menjadi sukarelawan.
la bahkan pernah meminta kesediaan seorang kontestan Miss America
untuk berkencan dengannya.

"Kalau tidak pernah meminta, kita tidak akan pernah tahu,"

belakangan ia bercerita kepadaku.
la jarang berbicara melalui telepon,
karena orang sulit memahaminya.
Ketika orang menjumpainya secara pribadi
dengan sikap positifnya dan senyumnya,
tampaknya orang segera tidak peduli dengan cacatnya.

la menikah dengan seorang wanita cantik,
dan mereka memiliki tujuh orang anak yang sehat,
yang semuanya mengira bahwa matahari dan rembulan
terbit dari wajah sang ayah.

Tetapi,
ketika aku memasuki "usia canggih,"
ketika aku menjalani usia pancaroba,
tiba-tiba aku tidak dapat menerima
berada di ruang yang sama dengan lelaki sama
yang selama sepuluh tahun telah membiarkan aku mengawasinya bercukur

setiap pagi.
Dalam pandangan mataku kala itu,
teman-temanku serba gaya, "keren," dan populer;
sedangkan ayahku tua dan ketinggalan zaman.

Pada suatu malam aku pulang bersama teman-teman semobil penuh,
dan kami singgah di rumahku untuk mengambil makanan ringan untuk begadang.
Ayahku keluar dari kamar tidurnya
dan menyalami teman-temanku,
menyuguhkan soda dan membuatkan popcorn.
Salah seorang temanku menarikku ke samping dan bertanya,
"Ayahmu kenapa?"

Tiba-tiba,
aku memandang ke seberang ruangan
dan melihatnya untuk pertama kali dengan mata yang tidak bias.
Aku terkejut setengah mati.
Ayahku ternyata seperti monster!
Aku menyuruh teman-temanku lekas pergi,
mengantar mereka pulang.
Aku merasa konyol sekali.
Bagaimana mungkin aku tak pernah melihatnya?

Belakangan malam itu aku menangis,
bukan karena sadar bahwa ayahku berbeda,
tetapi karena sadar
betapa aku telah menjadi orang yang berpikiran begitu dangkal.
Dialah orang terbaik dan paling penyayang
yang dapat diharapkan oleh seseorang,
dan aku telah mengukurnya berdasarkan penampilan luarnya.

Malam itu aku sadar
bahwa apabila aku menyayangi seseorang secara utuh
dan memandangnya melalui sepasang mata yang polos,
bebas dari praduga,
aku akan mulai memahami betapa buruknya sebuah prasangka.

Malam itu aku melihatnya
sebagaimana yang tampak oleh kebanyakan orang lain,
sebagai seseorang yang berbeda,
cacat, dan tidak normal.
Tidak ingat bahwa ia orang baik
yang sayang kepada istrinya,
kepada anak-anaknya,
dan kepada sesama manusia.
la memiliki kebahagiaan dan kesedihannya sendiri
dan telah menjalani suatu masa seumur hidup
di mana orang menilainya hanya berdasarkan penampilannya.




Aku bersyukur karena mengenalnya lebih dahulu,
sebelum orang lain menunjukkan kekurangan-kekurangan fisiknya.

Kini Ayah telah tiada.
Empati, rasa belas kasih, dan kepedulian kepada orang lain
merupakan sifat-sifat yang diwaris-kannya kepadaku.
Semua itu hadiah terbesar yang dapat diberikan
oleh seorang orangtua kepada seorang anak,
kemampuan untuk mencintai orang lain
tanpa memandang status sosial, ras, agama,
atau kecacatan mereka,
juga ketekunan dan ketabahan
untuk menerima hidup apa adanya.
Hasrat tertinggi untuk menjadi orang penyayang
sehingga kecupan-kecupan yang kuterima
cukup banyak untuk membuat hidungku menjadi pesek.

Carol Darnell

Dua Bersaudara

Konon pada suatu masa
di sebuah negeri antah berantah,
hidup dua orang pria,
yang sangat mirip dengan kebanyakan anak muda zaman sekarang...

Kedua bersaudara itu menarik dan menyenangkan,
tetapi mereka tidak disiplin, nakal, dan liar.
Perilaku yang keliru ini belakangan menjadi serius
ketika mereka mulai mencuri domba dari petani setempat,
sebuah kejahatan serius dalam masyarakat penggembala tersebut.

Sepandai-pandai mereka, kedua pencuri itu tertangkap.
Para petani berhak menentukan nasib mereka:
Kedua bersaudara itu akan diberi cap pada dahi mereka
dengan tulisan ST,
singkatan dari sheep thief (pencuri domba).
Tanda ini akan terus kelihatan seumur hidup.

Salah seorang di antara kedua bersaudara itu
begitu malu dengan cap itu sehingga ia lari;
orang tidak pernah mendengar lagi kabar beritanya.
Yang seorang lagi,
dengan penyesalan mendalam
dan tekad untuk memperbaiki hubungan dengan masyarakatnya,
memilih tetap tinggal dan mencoba berbuat baik,
terutama kepada setiap warga yang pernah ia rugikan.

Mula-mula masyarakat desa itu tidak percaya dengan niat tersebut
dan bersikap acuh tak acuh kepadanya.
Akan tetapi,
pemuda ini telah bertekad untuk menebus kesalahannya di masa lampau.
Setiap kali ada yang sakit,
pencuri domba itu datang untuk merawat si sakit,
memberinya sup dan menghiburnya.
Setiap kali ada kesibukan,
pencuri domba itu datang untuk membantu dengan sukarela.
Tidak ada bedanya
apakah orang yang memerlukan bantuan itu kaya atau miskin,
pencuri domba itu selalu siap mengulurkan tangannya.
la tidak pernah menerima bayaran atas perbuatan baiknya,
hidupnya hanya untuk orang lain.

Bertahun-tahun kemudian,
seorang pelancong datang ke desa itu.
Ketika singgah pada sebuah kedai pinggir jalan
untuk bersantap siang,
pelancong itu melihat seorang lelaki tua
dengan cap aneh pada dahinya,
duduk tidak begitu jauh dari situ.

Orang asing itu melihat bagaimana semua orang desa yang lewat
selalu menyempatkan diri bercakap-cakap dengan akrab dengannya,
dan menunjukkan sikap hormat kepadanya;
anak-anak yang sedang bermain
sesekali menghentikan permainan mereka
untuk memberi dan menerima pelukan hangat.
Karena penasaran, orang asing itu bertanya kepada pemilik kedai,
"Apa arti huruf yang tertulis pada dahi orang itu?"

"Saya tidak tahu.
Kejadiannya sudah lama sekali..." sahut pemilik kedai.




Kemudian, setelah diam sejenak untuk merenung, ia melanjutkan:
"...menurut saya tulisan itu singkatan dari kata
'santo.'"

Willanne Ackerman

Pengorbanan Terbesar

Linda Birtish mengorbankan dirinya sendiri dalam arti yang sebenarnya.
Linda adalah seorang guru yang menonjol
yang merasa bahwa kalau dia mempunyai waktu,
dia akan menciptakan karya seni dan puisi yang hebat.
Namun demikian, ketika dia berusia 28 tahun,
dia mulai mengidap sakit kepala yang parah.
Dokter-dokter yang memeriksanya menemukan bahwa
dia mengidap tumor otak yang sangat besar.

Para dokter tersebut mengatakan kepadanya bahwa
peluang keberhasilan operasi hanyalah sebesar dua persen.
Oleh karena itu,
ketimbang dioperasi secepatnya,
mereka memilih menunggu selama enam bulan.

Dia tahu bahwa dia memiliki bakat seni yang besar dalam dirinya.
Jadi selama enam bulan tersebut
dia menulis dan melukis terus-menerus.
Semua puisinya,
kecuali satu judul,
diterbitkan dalam berbagai majalah.

Semua karya seninya,
kecuali satu,
dipamerkan dan dijual di beberapa gateri terkemuka.

Pada akhir masa penantian selama enam bulan itu,
dia menjalani operasi.
Malam sebelum dia menjalani operasi,
dia memutuskan untuk mengorbankan dirinya sendiri dalam arti sebenarnya.

Sehubungan dengan kematiannya, dia menulis "surat wasiat",
yang isinya dia menyumbangkan semua bagian tubuhnya
kepada mereka yang membutuhkannya lebih dari dirinya sendiri.

Sayangnya, operasi Linda berakibat fatal.
Selanjutnya, kedua matanya disimpan di bank mata di Bethesda, Maryland,
dan dari sana diberikan kepada seorang resipien di South Carolina.

Seorang pemuda, berusia 28 tahun, akhirnya bisa melihat.
Pemuda itu sangat bersyukur
sehingga dia berkirim surat kepada bank mata tersebut
untuk mengucapkan terima kasih atas tersedianya mata yang dibutuhkan.

Itu hanya merupakan "terima kasih" kedua yang di terima oleh bank mata tersebut
yang telah mengirimkan lebih dari 30.000 mata!

Selanjutnya, dia mengatakan
bahwa dia ingin berterima kasih kepada orangtua si donor.
Mereka pasti orangtua yang hebat
karena mempunyai anak yang bersedia menyumbangkan kedua matanya.
Dia diberi nama keluarga Birtish tersebut
dan dia memutuskan terbang dengan pesawat
untuk mengunjungi mereka di Staten Island.

Dia datang di sana tanpa pemberitahuan sebelumnya
dan membunyikan bel pintu.
Setelah mendengarkan perkenalannya,
Nyonya Birtish mengulurkan tangan dan memeluknya.

Nyonya itu mengatakan,
"Anak muda, kalau kau tak punya tempat untuk pergi,
suami saya dan saya sangat mengharapkanmu
untuk menghabiskan akhir minggu bersama-sama kami."

Dia menginap,
dan dia melihat-lihat kamar Linda.
Dia tahu bahwa Linda membaca karya Plato.
Dia sendiri membaca karya Plato dalam huruf Braille.
Linda membaca karya Hegel.
Dia sendiri membaca karya Hegel dalam huruf Braille.

Keesokan harinya Nyonya Birtish menemuinya dan berkata,
"Kau tahu,
Aku yakin bahwa aku pernah melihatmu sebelumnya,
tetapi entah di mana."

Tiba-tiba dia teringat.
Nyonya Birtish lalu naik ke lantai atas
dan mencari gambar terakhir yang pernah dilukis oleh Linda.
Lukisan itu adalah sebuah lukisan pria idamannya.

Lukisan tersebut benar-benar mirip dengan lelaki muda
yang menerima kedua mata Linda.

Kemudian Nyonya Birtish membaca puisi terakhir yang ditulis Linda
di ranjang kematiannya.
Puisi itu berbunyi demikian:




Dua hati bersua di waktu malam
jatuh cinta
tak pernah bisa saling memandang.

Jack Canfield dan Mark Victor Hansen

Traffic light

Dari kejauhan,
lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau.
Jack segera menekan pedal gas kendaraannya.
Ia tak mau terlambat.
Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat
sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama.

Kebetulan jalan di depannya agak lenggang.
Lampu berganti kuning.
Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera.
Tiga meter menjelang garis jalan,
lampu merah menyala.
Jack bimbang,
haruskah ia berhenti atau terus saja.
"Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,"
pikirnya sambil terus melaju.
Priiiiiiiiiiiit !!!!!
Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan
memintanya berhenti.

Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati.
Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu.
Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bob,
teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.

"Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!"
"Hai, Jack." Tanpa senyum.
"Duh, sepertinya saya kena tilang nih?
Saya memang agak buru-buru.
Istri saya sedang menunggu di rumah."
"Oh ya?" Tampaknya Bob agak ragu.
Nah, bagus kalau begitu.
"Bob, hari ini istriku ulang tahun.
Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya.
Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."
"Saya mengerti.
Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu
melintasi lampu merah di persimpangan ini."

O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan.
Jack harus ganti strategi.
"Jadi, kamu hendak menilangku?
Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah.
Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala."
Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

"Ayo dong Jack.
Kami melihatnya dengan jelas.
Tolong keluarkan SIMmu."

Dengan ketus Jack menyerahkan SIM
lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya.
Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya.

Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela.
Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa.
Dibukanya kaca jendela itu sedikit.
Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang.
Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.
Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela.
Tapi, hei apa ini.
Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota.

Kenapa ia tidak menilangku.
Lalu nota ini apa?
Semacam guyonan atau apa?
Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.

"Halo Jack,
Tahukah kamu Jack,
aku dulu mempunyai seorang anak perempuan.
Sayang, Ia sudah meninggal
tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.
Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan.
Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi.
Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada.
Kami masih terus berusaha dan berharap
agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu.
Betapa sulitnya.
Begitu juga kali ini.
Maafkan aku Jack.
Doakan agar permohonan kami terkabulkan.
Berhati-hatilah.
--
Bob"

Jack terhenyak.
Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob.
Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana.
Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu
sambil berharap kesalahannya dimaafkan.



Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain.
Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita.
Hidup ini sangat berharga,
jalanilah dengan penuh hati-hati.

Paco, Pulanglah

Di sebuah kota kecil di Spanyol,
seorang lelaki bernama Jorge
bertengkar hebat dengan anaknya,
Paco.

Keesokan harinya Jorge menemukan ranjang Paco kosong
anaknya telah kabur dari rumah.

Dengan diliputi rasa sedih, Jorge merenungi jiwanya
dan menyadari bahwa anaknya lebih penting baginya
daripada apa pun juga.

la ingin memulai lagi.
Jorge pergi ke sebuah toko terkenal di pusat kota
dan memasang poster besar bertuliskan,

"Paco, pulanglah.
Ayah mencintai kamu.
Temui Ayah di sini besok pagi."

Keesokan paginya, Jorge datang ke toko itu,
dan ia menemukan tak kurang dari tujuh orang anak bernama Paco
yang juga kabur dari rumah.

Mereka semua menjawab panggilan kasih itu,
masing-masing berharap
ayahnya yang mengundangnya pulang dengan tangan terbuka.

==

Alan Cohen

piano merah mahogany

Bertahun-tahun lalu,
ketika saya masih seorang pemuda berusia dua puluhan,
saya bekerja sebagai sales perusahaan piano St. Louis.
Kami menjual piano ke seluruh negara bagian
melalui iklan-iklan kecil di surat kabar.
Jika ada tanggapan yang cukup serius,
barulah kami mengangkut piano itu ke atas mobil-mobil pick up kami,
pergi ke alamat yang dituju,
dan menjual piano-piano kami kepada orang-orang yang sudah memesan.

Setiap kali kami mengiklankan barang dagangan kami
di daerah kapas Southeast Missouri,
kami selalu menerima tanggapan dari seorang konsumen lewat kartu post
yang sepertinya mengatakan,
"Tolong kirimkan sebuah piano baru untuk cucu kecil saya.
Warnanya harus merah mahogany.
Saya bisa membayar sepuluh dollar sebulan dari hasil menjual telur."

Tulisan wanita tua itu memenuhi seluruh halaman belakang kartu posnya,
sampai terisi semua.
Lalu dia melanjutkan tulisannya ke bagian depan kartu postnya,
bahkan sampai ke pinggirannya,
sehingga hanya menyisakan sedikit sekali ruang untuk menulis alamat.

Kami tidak bisa menjual piano dengan cicilan sepuluh dollar sebulan.
Tidak akan ada lembaga keuangan manapun yang mau menyetujui
kontrak pembayaran sekecil itu.
Jadi, kami abaikan saja kartu postnya.

Tetapi, pada suatu hari,
kebetulan saya sedang berada di wilayah itu,
melayani tanggapan-tanggapan dari pelanggan lain,
dan hanya iseng-iseng saya mencari alamat wanita tua itu.
Saya menemukan suatu tempat yang hampir sama
dengan yang ada dalam bayangan saya.

Dia tinggal di sebuah gubuk kecil satu ruang,
di tengah hamparan ladang pohon kapas.
Lantai kabinnya kotor,
dan ayam berkeliaran di dalam rumah.
Jelas, wanita ini tidak memenuhi syarat apapun
untuk membeli barang dengan kredit.
Dia tidak punya mobil,
tidak punya telepon,
tidak punya pekerjaan.
Yang dia punya hanyalah atap yang menaungi kepalanya,
dan sama sekali bukan tipe yang bagus.
Bahkan saya bisa melihat sinar matahari lewat celah-celahnya.

Cucu kecilnya berumur kira-kira sepuluh tahun,
telanjang kaki,
dan mengenakan baju dari karung goni.

Saya menjelaskan kepada wanita itu
bahwa kami tidak bisa menjual sebuah piano baru
dengan bayaran sepuluh dollar sebulan,
dan bahwa dia tidak perlu lagi menulis surat kepada kami
setiap kali dia melihat iklan kami di surat kabar lokalnya.

Saya beranjak dari tempat itu dengan perasaan pedih,
tetapi ternyata saran saya sama sekali tidak mempengaruhinya.
Dia tetap saja mengirimkan kartu post yang sama,
setiap enam minggu.
Dia selalu meminta piano baru,
tolong, warnanya merah mahogany,
dan berjanji tidak menunggak cicilan sepuluh dollar sebulan itu.
Hati saya berkecamuk.

Beberapa tahun kemudian, saya memiliki perusahaan piano sendiri,
dan ketika saya mengiklankan barang dagangan saya ke wilayah itu,
kartu postnya mulai datang ke kantor saya.
Berbulan- bulan lamanya,
saya mengabaikannya.
Habis, saya harus bagaimana lagi?

Lalu, suatu hari, saya kembali berada di wilayah itu,
sesuatu terlintas dalam hati saya.
Kebetulan saya membawa piano merah mahogany di pickup kecil saya.
Meski saya tahu,
bahwa saat itu saya akan membuat suatu keputusan bisnis yang mengerikan,
saya memutuskan untuk datang lagi ke gubuknya,
dan memberitahunya bahwa saya bisa menerima kontrak itu secara pribadi.
Saya katakan,
dia boleh membayar sepuluh dollar sebulan tanpa bunga,
dan berarti harus membayar sebanyak lima puluh dua kali cicilan.

Saya bawakan piano baru itu ke dalam rumahnya dan menempatkannya
di suatu sudut yang kira-kira tidak akan terkena bocoran air hujan.
Saya menasehati wanita itu dan cucu kecilnya
untuk menjaga agar ayam jangan sampai menyentuh pianonya,
lalu saya pergi -
dengan keyakinan bahwa saya baru saja membuang sebuah piano baru.

Tetapi cicilan ternyata benar-benar datang,
lunas sampai lima puluh dua kali, seperti yang telah disepakati -
kadang ada uang receh di dalam amplop berukuran tiga kali lima inci itu.
Luar biasa!

Dua puluh tahun lamanya, saya melupakan kejadian itu begitu saja.

Lalu, pada suatu hari di Memphis,
ketika sedang melakukan perjalanan bisnis lain,
dan setelah makan di hotel Holiday Inn,
saya masuk ke ruang tunggunya.
Saya mendengar alunan musik piano yang begitu indah dari arah belakang saya.
Saya menoleh dan melihat seorang wanita muda yang cantik,
sedang memainkan sebuah grand-piano mewah.

Karena saya sendiri juga bisa bermain piano,
saya merasa kagum pada kepiawaiannya memainkan alat musik itu.
Saya mengangkat gelas minuman saya
dan berpindah ke meja di sebelah sang pianis,
supaya saya bisa mendengarkan dan memperhatikan permainannya dengan lebih jelas.

Dia tersenyum pada saya,
menanyakan apa lagu yang saya minta,
dan ketika beristirahat sejenak, dia duduk didepan meja saya.

"Bukankah Anda orang yang dulu menjual piano kepada nenek saya?" tanyanya.

Saya sama sekali tidak ingat, maka saya minta dia menjelaskan.

Mulailah dia bercerita, dan mendadak saya ingat.
Ya Tuhan, ternyata dia!
Dialah gadis kecil telanjang kaki berbaju karung goni itu!

Dia memberitahu bahwa namanya Elise.
Karena neneknya tidak bisa membiayainya les piano,
maka dia belajar memainkan pianonya dengan mendengarkan radio.
Lalu dia mulai bermain piano di gereja,
yang harus ditempuh oleh dia dan neneknya dengan jarak dua mil dari rumah mereka.
Dia juga bermain piano di sekolah,
dan telah meraih banyak penghargaan dan akhirnya beasiswa sekolah musik.
Lalu dia menikah dengan seorang pengacara di Memphis,
dan dia membelikannya sebuah grand-piano yang sekarang dimainkannya itu.

Sesuatu terlintas di kepala saya.
"Elise," kata saya,"ruangan ini agak gelap.
Apa warna piano itu?"

"Merah mahogany,"katanya.
"Kenapa?"

Saya membisu.
Mengertikah dia arti kata merah mahogany itu?

Sadarkah dia akan kegigihan neneknya yang tidak masuk akal itu,
yang memaksa harus piano merah mahogany,
padahal tidak seorang waraspun saat itu yang mau menjual piano apapun padanya ?
Saya rasa tidak.

Kalau begitu apakah dia menyadari kesuksesan hebat yang telah berhasil
diraih seorang gadis kecil hina berpakaian bahan karung goni itu ?
Tidak, saya yakin dia juga tidak mengerti hal itu

Tetapi saya sangat mengerti,
dan kerongkongan saya seperti tersumbat.

Akhirnya, saya berhasil menemukan lagi suara saya.
"Saya hanya ingin tahu apa warna piano itu," kata saya.
"Saya bangga pada Anda.
Permisi, saya harus naik ke kamar saya."

Saat itu saya benar-benar harus segera masuk ke kamar saya,
sebab laki-laki tidak pantas menangis di muka umum.

JOE EDWARDS

Joe Edwards menghabiskan hampir seluruh usia produktifnya sebagai
seorang pemain piano jazz di klub-klub malam Kansas City. Sekarang dia
telah pensiun, tetapi masih sering bermain piano pada acara- acara
resepsi pernikahan di sekitar Springfield, Missouri

Dari buku Heartwarmers

Pengemis buta

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta
yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya,
"Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad,
dia itu orang gila,
dia itu pembohong,
dia itu tukang sihir,
apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya".

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya
dengan membawakan makanan,
dan tanpa berucap sepatah kata pun
Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu
sedangkan pengemis itu tidak mengetahui
bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW,
tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi
kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA
berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA
yang tidak lain tidak bukan merupakan istri Rasulullah SAW
dan beliau bertanya kepada anaknya itu,

"Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?".
Aisyah RA menjawab,
"Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah
dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan
kecuali satu saja".

"Apakah Itu?", tanya Abubakar RA.
"Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar
dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta
yang ada di sana", kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan
untuk diberikan kepada pengemis itu.
Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya.

Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya,
si pengemis marah sambil menghardik,
"Siapakah kamu ?".

Abubakar RA menjawab,
"Aku orang yang biasa."

"Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku",
bantah si pengemis buta itu.
"Apabila ia datang kepadaku
tidak susah tangan ini memegang
dan tidak susah mulut ini mengunyah.
Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku,
tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut
setelah itu ia berikan padaku",
pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya,
ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu,

"Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu.

Aku adalah salah seorang dari sahabatnya,
orang yang mulia itu telah tiada.
Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW".

Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA,
dan kemudian berkata,
"Benarkah demikian?
Selama ini aku selalu menghinanya,
memfitnahnya,
ia tidak pernah memarahiku sedikitpun,
ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi,
ia begitu mulia.... "





Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA
saat itu juga
dan sejak hari itu menjadi muslim.

Kisah Nenek Pemungut Daun

Dahulu di sebuah kota di Madura,
ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka.
Ia menjual bunganya di pasar,
setelah berjalan kaki cukup jauh.
Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu.
Ia berwudhu,
masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur.

Setelah membaca wirid sekedarnya,
ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid.
Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid.
Selembar demi selembar dikaisnya.
Tidak satu lembar pun ia lewatkan.
Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu.
Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat.
Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya.
Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu
sebelum perempuan tua itu datang.

Pada hari itu,
ia datang dan langsung masuk masjid.
Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya,
ia terkejut.
Tidak ada satu pun daun terserak di situ.
Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras.
Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu
sudah disapukan sebelum kedatangannya.

Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya.
"Jika kalian kasihan kepadaku," kata nenek itu,
"Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya."

Singkat cerita,
nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa.
Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu
mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu.
Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat:

pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya;
kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.

Sekarang ia sudah meninggal dunia,
dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

"Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai," tuturnya.
"Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu
mungkin juga tidak benar saya jalankan.
Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat
tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad.
Setiap kali saya mengambil selembar daun,
saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah.
Kelak jika saya mati,
saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya.
Biarlah semua daun itu bersaksi
bahwa saya membacakan salawat kepadanya."



Kisah ini saya dengar dari Kiai Madura, D. Zawawi Imran,
membuat bulu kuduk saya merinding.
Perempuan tua dari kampung itu
bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus.
Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri,
dan keterbatasan amal dihadapan Alloh swt.
Lebih dari itu,
ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur:
Ia tidak dapat mengandalkan amalnya.
Ia sangat bergantung pada rahmat Alloh.
Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam
selain Rasululloh saw?

-jalaludin rachmat-

Indahnya Berprasangka Baik

dari milist DT
--

*Dua orang laki-laki bersaudara bekerja pada sebuah pabrik kecap dan
sama-sama tekun belajar Islam. Sama-sama mengamalkan ilmunya dalam kehidupan
sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka acap kali harus berjalan kaki untuk
sampai ke rumah guru pengajiannya. Jaraknya sekitar 10 km dari rumah
peninggalan orang tua mereka. *



Suatu ketika sang kakak berdo'a memohon rejeki untuk membeli sebuah mobil
supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya, bila pergi
mengaji. Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia
miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja.



Lalu sang kakak berdo'a memohon seorang istri yang sempurna, Allah
mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis
yang cantik serta baik akhlaknya.



Kemudian berturut-turut sang Kakak berdo'a memohon kepada Allah akan sebuah
rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain. Dengan itikad supaya
bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu
mengabulkan semua do'anya itu.



Sementara itu, sang Adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap
sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati
bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya sangat sibuk dengan
pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang adik sering
kali harus berjalan kaki untuk mengaji kerumah guru mereka.



Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya
dengan perjalanan hidup adiknya. Dia teringat bahwa adiknya selalu membaca
selembar kertas saat dia berdo'a, menandakan adiknya tidak pernah hafal
bacaan untuk berdo'a. Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati
adiknya supaya selalu berdo'a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan
hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do'a-do'anya
tiada dikabulkan oleh Allah azza wa jalla.



Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang
begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas
nasihat itu.



Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena sampai
meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia
merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya
sehubungan do'anya tak pernah terkabul



Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah
adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada
selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya
yang berisi tulisan do'a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do'a untuk guru
mereka, do'a selamat dan ada kalimah di akhir do'anya:

*"Ya, Allah. tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu, Ampunilah aku
dan kakak ku, kabulkanlah segala do'a kakak ku, bersihkanlah hati ku dan
berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku didunia dan akhirat,"*



Sang Kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya, tak diduga ternyata adiknya tak pernah sekalipun
berdo'a untuk memenuhi nafsu duniawinya

Berapa lama kita dikubur ?

Awan sedikit mendung, ketika kaki kaki kecil Yani berlari-lari gembira di atas jalanan
Menyeberangi kawasan lampu merah Karet. Baju merahnya yang kebesaran melambai lambai di tiup angin.
Tangan kanannya memegang es krim Sambil sesekali mengangkatnya ke mulutnya untuk dicicipi,
sementara tangan kirinya mencengkram ikatan sabuk celana ayahnya. Yani dan ayahnya memasuki
wilayah pemakaman umum Karet, berputar sejenak ke kanan dan kemudian duduk di atas seonggok nisan

"Hj Rajawali binti Muhammad 19-10-1905:20-01-1965"
"Nak, ini kubur nenekmu mari kita berdo'a untuk nenekmu" Yani melihat wajah ayahnya, lalu
menirukan tangan ayahnya yang mengangkat ke atas dan ikut memejamkan mata seperti ayahnya. Ia
mendengarkan ayahnya berdo'a untuk neneknya...

"Ayah, nenek waktu meninggal umur 50 tahun ya yah." Ayahnya mengangguk sembari tersenyum sembari
memandang pusara Ibu-nya.
"Hmm, berarti nenek sudah meninggal 36 tahun ya yah..." kata Yani berlagak sambil matanya
menerawang dan jarinya berhitung.
"Ya, nenekmu sudah di dalam kubur 36 tahun ... " Yani memutar kepalanya, memandang sekeliling,
banyak kuburan di sana. Di samping kuburan neneknya ada kuburan tua berlumut "Muhammad Zaini :
19-02-1882 : 30-01-1910"

"Hmm.. kalau yang itu sudah meninggal 91 tahun yang lalu ya yah" jarinya menunjuk nisan disamping
kubur neneknya. Sekali lagi ayahnya mengangguk. Tangannya terangkat mengelus kepala anak
satu-satunya.
"Memangnya kenapa ndhuk ?" kata sang ayah menatap teduh mata anaknya.
"Hmmm, ayah khan semalam bilang, bahwa kalau kita mati, lalu di kubur dan kita banyak dosanya,
kita akan disiksa di neraka " kata Yani sambil meminta persetujuan ayahnya. "Iya kan yah?"
Ayahnya tersenyum, "Lalu?"
"Iya .. kalau nenek banyak dosanya, berarti nenek sudah disiksa 36 tahun dong yah di kubur? Kalau
nenek banyak pahalanya, berarti sudah 36 tahun nenek senang di kubur .... ya nggak yah?"
Mata Yani berbinar karena bisa menjelaskan kepada ayahnya pendapatnya. Ayahnya tersenyum, namun
sekilas tampak keningnya berkerut, tampaknya cemas .....
"Iya nak, kamu pintar," kata ayahnya pendek.

Pulang dari Pemakaman, ayah Yani tampak gelisah di atas sajadahnya, memikirkan apa yang dikatakan
anaknya ... 36 tahun ... hingga sekarang ...kalau kiamat datang 100 tahun lagi ....136 tahun
disiksa .. atau bahagia di kubur .... Lalu ia menunduk ... meneteskan air mata ...
Kalau ia meninggal .. lalu banyak dosanya ... lalu kiamat masih 1000 tahun lagi berarti ia akan
disiksa 1000 tahun? Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'un ... air matanya semakin banyak
menetes.....Sanggupkah ia selama itu disiksa? Iya kalau kiamat 1000 tahun ke depan ..kalau 2000
tahun lagi ? Kalau 3000 tahun lagi? Selama itu ia akan disiksa di kubur .. lalu setelah dikubur?
Bukankah akan lebih parah lagi? Tahankah? Padahal melihat adegan preman dipukuli massa ditelevisi
kemarin ia sudah tak tahan?

Ya Allah ...ia semakin menunduk .. tangannya terangkat keatas..bahunya naik turun tak teratur....
air matanya semakin membanjiri jenggotnya ..... Allahumma as aluka khusnul khootimah berulang kali
di bacanya doa itu hingga suaranya serak ... dan ia berhenti sejenak ketika terdengar batuk Yani.

Dihampirinya Yani yang tertidur di atas dipan bambu... dibetulkannya selimutnya. Yani terus
tertidur ...tanpa tahu, betapa sang bapak sangat berterima kasih padanya karena telah
menyadarkannya .. arti Sebuah kehidupan... dan apa yang akan datang di depannya...

Apa Artinya Menjadi Anak Angkat

Para murid kelas satu yang diajar oleh Debbie Moon
sedang mendiskusikan sebuah gambar tentang keluarga.

Salah seorang putra dalam gambar itu memiliki warna rambut yang berbeda
dari anggota keluarga lainnya

Salah satu murid menebak bahwa putra itu adalah anak angkat,
dan seorang gadis kecil bernama Jocelynn Jay berkata,

"Aku tahu segalanya tentang pengangkatan anak
karena aku sendiri anak angkat."

"Apa artinya menjadi anak angkat?"
seorang anak lain bertanya.

"Artinya," kata Jocelynn,
"kamu tumbuh dalam hati ibu kamu,
bukan dalam perutnya."


==

George Dolan

Bingkisan Ulang Tahun

Aku bermimpi
keempat anak-anakku kelak akan hidup di sebuah negara
di mana mereka tidak diukur berdasarkan warna kulit
melainkan berdasarkan kepribadian asli mereka... "

Martin Luther King Jr.


(Kisah ini ditulis pada tahun 1969.}

Seminggu setelah putraku bersekolah di kelas satu,
ia pulang ke rumah dengan kabar bahwa Roger,
satu-satunya anak Amerika keturunan Afrika di kelas itu,
menjadi teman bermainnya.
Aku menelan ludah dan berkata,
"Itu bagus.
Berapa lama sampai ada anak lain memilihnya sebagai teman?"

"Oh, aku benar-benar mengajaknya berteman," jawab Bill.
Sepekan kemudian, aku memperoleh kabar
bahwa Bill telah meminta Roger menjadi teman sebangkunya.
Kecuali Anda dilahirkan
dan dibesarkan di kawasan Selatan, seperti aku,
Anda tidak dapat memahami makna kejadian ini.
Sehingga aku meminta bertemu dengan guru anakku.

Sang Ibu Guru menemuiku dengan pandangan mata letih dan sinis.
"Kelihatannya
Anda juga ingin mencari teman sebangku lain bagi anak Anda," katanya.
"Dapatkah Anda me-nunggu barang sebentar?
Ada seorang ibu lain yang telah da-tang lebih dahulu."

Aku memandang ke atas untuk melihat seorang wanita sebayaku.
Jantungku berdegup kencang
ketika sadar bahwa ia pasti ibu Roger.
Sepintas lalu ia tampak tenang, anggun, dan percaya diri,
tetapi ia tidak sanggup menyembunyikan kekhawatirannya
ketika kudengar ia bertanya:
"Bagaimana kabar Roger?
Saya harap ia sanggup menyesuaikan diri dengan anak-anak lain.
Kalau tidak, tolong saya diberitahu."

Kemudian dengan ragu ia melanjutkan pertanyaannya,
"Apakah ia menyulitkan Anda?
Maksud saya, apakah ia harus pindah tempat duduk terus-menerus?"
Aku merasakan ketegangan luar biasa dalam dirinya,
karena ia mengetahui jawabnya.
Akan tetapi, aku kagum kepada guru kelas satu itu
yang dengan lembut menjawab:
"Tidak, Roger tidak menyulitkan saya.
Saya mencoba memindahkan semua anak selama minggu-minggu pertama
sampai masing-masing mendapatkan pasangan yang cocok."

Aku memperkenalkan diri
dan mengatakan bahwa putraku akan menjadi pasangan baru Roger
dan berharap mereka akan saling menyukai.
Bahkan saat itu aku sadar itu hanya basa-basi,
tidak keluar dari hati.
Tetapi kata-kata itu membuatnya tenang,
aku dapat melihatnya.

Dua kali Roger mengajak Bill datang ke rumahnya,
tetapi aku selalu mencarikan alasan.
Kemudian datanglah rasa penyesalan
yang tidak akan pernah aku lupakan.

Pada hari ulang tahunku,
Bill pulang dari sekolah membawa sesuatu
terbungkus kertas sedernikian rupa
sehingga bentuknya seperti sebuah bujur sangkar kecil.

Aku membukanya,
di dalamnya kudapati tiga kuntum bunga
dan tulisan Selamat Ulang Tahun
dengan krayon pada kertas itu
dan sekeping uang lima sen.



"Itu dari Roger," kata Bill.
"Itu uang susunya.
Waktu kukatakan bahwa hari ini hari ulang tahun Ibu,
ia memaksa mengantarkan bingkisan ini.

Katanya Ibu adalah temannya,
sebab Ibu satu-satunya orangtua
yang tidak memintanya mencari teman sebangku lain."

Mavis Burton Ferguson

Peran dan Cara Memainkannya

Setiap kali aku merasa kecewa akan peranku dalam hidup,
aku berhenti dan memikirkan Jamie Scott cilik.

Waktu itu Jamie ikut seleksi untuk drama sekolah.
Ibunya berkata padaku bahwa Jamie ingin sekali ikut dalam drama itu,
meskipun ia khawatir anaknya tak akan terpilih.
Pada hari saat para pemeran diumumkan,
aku pergi bersamanya untuk menjemput Jamie pulang sekolah.

Jamie bergegas menghampiri ibunya,
matanya bersinar dengan rasa bangga dan senang.

"Coba tebak, Ma," serunya,

lalu melontarkan kata-kata yang terus menjadi pelajaran untukku:

"Aku terpilih untuk bertepuk tangan dan bersorak."


==

Marie Curling

Seorang Buruh

Aku bukan orang yang suka menguping percakapan orang lain.
Tapi pada suatu malam,
sewaktu aku melintasi halaman rumah kami,
aku ternyata melakukannya.
Istriku sedang berbicara pada anak bungsu kami
selagi ia duduk di lantai dapur.
Jadi aku berhenti untuk mendengarkan di luar pintu belakang.

Sepertinya ia mendengar beberapa anak
menyombongkan pekerjaan ayah mereka.
Bahwa semuanya para eksekutif hebat ...
lalu mereka bertanya pada Bob, anak kami,

"Papamu memiliki karier bagus macam apa?"
mulailah mereka bertanya.

Bob menggumam perlahan sambil memalingkan muka,
"Ia hanya seorang buruh."

Istriku yang baik menunggu sampai mereka semua pergi,
lalu memanggil masuk putra kami. Katanya,

"Mama ingin bicara sama kamu, Nak,"
seraya mencium pipinya yang berlesung pipit.

"Kamu bilang, papamu hanya seorang buruh,
dan apa yang kamu katakan itu betul.
Tapi Mama ragu,
apakah kamu tahu apa artinya yang sebenarnya,
jadi Mama akan menjelaskan padamu."

"Dalam seluruh industri yang membuat negeri kita hebat
Dalam semua toko dan warung dan truk
yang menarik muatan setiap hari ...
Setiap kali kamu melihat rumah baru dibangun,
ingatlah, anakku.
Diperlukan seorang buruh biasa
untuk menyelesaikan pekerjaan besar itu!"

"Memang benar para eksekutif hebat punya meja bagus
dan selalu rapi sepanjang hari.
Mereka merencanakan proyek besar untuk diselesaikan ...
dan mengirim memo untuk disampaikan.
Tapi untuk mengubah impian mereka menjadi kenyataan,
ingatlah ini, anakku.
Perlu seorang buruh biasa untuk menyelesaikan pekerjaan besar itu!"

"Kalau semua bos meninggalkan meja mereka
dan libur selama setahun.
Roda industri masih bisa berjalan—berputar dengan cepat.
Jika orang seperti papamu berhenti bekerja,
industri itu tak bisa berjalan.
Perlu seorang buruh biasa untuk menyelesaikan pekerjaan besar itu!"

Aku menelan air mata dan berdeham saat memasuki pintu.
Mata putra kecilku berbinar gembira saat ia melompat dari lantai.

la memelukku sambil berkata,
"Hai, Pa,
aku bangga jadi anak Papa ...
Karena Papa adalah satu dari orang-orang istimewa
yang menyelesaikan pekerjaan besar."

--
Ed Peterman

Tak Satu Pun!

Chad kecil adalah pemuda yang pendiam dan pemalu.
Suatu hari ia pulang dan memberi tahu ibunya
bahwa ia ingin membuat kartu ucapan persahabatan
untuk semua teman sekelasnya.

Hati si ibu trenyuh.
Pikirnya, "Mudah-mudahan dia tidak melakukannya!"
karena ia pernah memperhatikan anak-anak saat mereka pulang dari sekolah.
Chad selalu berjalan di belakang mereka.
Mereka tertawa dan bergandengan tangan dan mengobrol.
Tapi, Chad tidak pernah diajak.
Namun, ia memutuskan untuk menuruti kemauan anaknya.
Jadi, ia membeli kertas dan lem serta krayon.

Selama tiga minggu,
setiap malam, Chad membuat 35 kartu ucapan persahabatan
dengan susah payah.

Hari persahabatan itu tiba,
dan Chad lupa diri karena senangnya.
la dengan hati-hati menumpuk kartunya,
memasukkannya ke dalam tas,
dan berlari keluar pintu.

Ibunya memutuskan untuk membuatkan kue kesukaannya
dan berniat menyuguhkannya sewaktu masih hangat
bersama segelas susu dingin saat ia pulang sekolah.

la tahu anaknya pasti kecewa
dan mungkin kue itu dapat sedikit meringankan rasa dukanya.

Sedih rasanya memikirkan bahwa anaknya
tak akan menerima banyak kartu ucapan persahabatan
mungkin tidak sama sekali.

Sore itu ia menaruh kue dan susu di atas meja.
Saat ia mendengar suara anak-anak di luar,
ia melihat ke luar jendela.
Benarlah, mereka datang,
tertawa dan bersuka ria.
Dan, seperti biasa Chad berjalan di belakang.

la berjalan lebih cepat dari biasanya.
la benar-benar menyangka Chad akan meledak tangisnya
begitu ia masuk rumah.

Tampak olehnya tangan Chad kosong,
dan saat pintu terbuka,
ia menahan jatuhnya air mata.
"Mama telah buatkan kue dan susu untukmu," katanya.

Tapi Chad hampir tak mendengar kata-katanya.
la hanya berjalan masuk,
wajahnya berbinar,
dan yang dapat ia katakan hanyalah:

"Tak satu pun.
Tak satu pun."

Hati si ibu begitu trenyuh.




Dan Chad menambahkan,
"Aku tak melupakan seorang pun,
tidak seorang pun!"

--
Dale Galloway

Suatu Senja di Sebuah Taman

Suatu saat ada seorang anak lelaki kecil
yang ingin bertemu dengan Tuhan.
la tahu bahwa tempat tinggal Tuhan itu jauh sekali,
jadi ia mengemas sebuah tas berisi kue
dan enam kaleng root beer dan memulai perjalanannya.

Saat ia sudah berjalan sekitar tiga blok,
ia bertemu dengan seorang nenek.
Nenek itu sedang duduk di taman,
menatapi burung merpati.
Anak lelaki itu duduk di sebelahnya dan membuka kopernya.
la hendak meminum root beernya saat ia melihat si nenek tampak lapar,
jadi ia menawarkan kuenya.

Si nenek menerimanya dengan penuh terima kasih
dan tersenyum padanya.
Senyumnya begitu cantik
sehingga anak itu ingin melihatnya lagi,
jadi ia menawarinya sekaleng root beer.
Sekali lagi si nenek tersenyum padanya.
Anak itu senang sekali!

Mereka duduk di situ sepanjang sore,
makan dan tersenyum,
tapi tak pernah berkata-kata.

Saat hari mulai gelap,
anak lelaki itu sadar betapa lelahnya dia
dan ia bangkit untuk pergi,
tetapi tak sampai beberapa langkah,
ia berbalik, berlari kembali ke si nenek dan memeluknya.

Nenek itu memberinya sebuah senyuman yang paling lebar.

Saat anak itu membuka pintu rumahnya beberapa saat kemudian,
ibunya terkejut melihat wajahnya yang tampak sangat bahagia.
la bertanya pada anaknya,
"Apa yang kamu lakukan hari ini
sehingga membuatmu sangat bahagia?"

Anak itu menjawab,
"Aku makan siang bersama Tuhan."

Tapi, sebelum ibunya dapat menanggapi, ia menambahkan,

"Tahu tidak?
Dia memiliki senyum paling cantik yang pernah kulihat!"

Sementara itu,
si nenek yang matanya juga berbinar bahagia,
kembali ke rumahnya.

Anaknya tercengang melihat wajah tentram pada si nenek
dan ia bertanya,

"Ibu, apa yang Ibu lakukan hari ini
sehingga membuat ibu begitu bahagia?"

Nenek itu menjawab,
"Ibu makan kue di taman bersama Tuhan."

Tapi, sebelum anaknya menanggapi, ia menambahkan,
"Tahu tidak?,
dia jauh lebih muda dari yang Ibu duga."

--
Julie A. Manhan

Kakak Tersayang

Si anak perempuan berayun tinggi di ayunannya,
hingga mainan buatan sendiri itu terangkat
dekat ke cabang-cabang rimbun pohon sycamore yang tinggi.
Pipinya terasa sejuk diembus angin.
la baru berusia lima tahun,
dan saat itu ia sedang sangat kesal pada David,
kakak lelakinya yang berusia sebelas tahun.

Kenapa dia jahat sekali? pikirnya,
teringat bahwa David tadi memasang wajah jelek padanya
sambil mengejeknya "bayi besar" ketika sarapan.

Dia benci padaku, pikir si anak,
karena aku mengambil satu-satunya kue yang tersisa.
Dia benci padaku!

Ayunan itu membawanya begitu tinggi,
hingga ia bisa melihat ke depan hingga bermil-mil jauhnya.
Senang sekali rasanya melihat lahan pertanian di bawah sana.

Sweter merahnya tampak mengilap dalam cahaya matahari pagi.
Ia tidak mau lagi memikirkan kemarahannya pada kakaknya
dan mulai menyanyi.

Di bukit yang jauh di belakang ayunan itu,
seekor banteng besar bertanduk panjang dan tajam
mengamati sweter merah si anak perempuan
yang mengilap dalam cahaya matahari.

Banteng itu berhasil keluar dari padang rumput tempatnya ditambatkan.
la sudah kesal dan siap menyerang apa saja yang bergerak.
la mulai mendengus-dengus dan menggaruk-garuk tanah dengan kakinya.
Lalu ditundukkan-nya kepalanya yang besar
dan ia mulai bergerak ke arah sweter merah
yang berayun-ayun di bawah pohon sycamore itu.

Sementara itu,
David sedang berada di pekarangan gudang,
memberi makan ayam-ayam.
la menoleh dan melihat adik perempuannya sedang main ayunan.

Adik perempuan memang menjengkelkan, pikirnya.
Sekonyong-konyong ia melihat banteng yang merangsek maju itu,
mengarah tepat ke adiknya.
Tanpa pikir panjang David berteriak sekeras-kerasnya,
"Lihat ke belakang!
Lari dari situ!
Lari!"

Adiknya tidak mendengar,
melainkan terus saja menyanyi dan berayun-ayun.
Banteng itu sudah setengah melintasi lapangan
dan semakin dekat.

Jantung David berdebar kencang.
la mesti bertindak.
la pun lari melintasi pekarangan,
melompati pagar,
dan lari lagi sekencang-kencangnya ke arah adiknya.
Belum pernah ia lari secepat itu.

David meraih salah satu tali ayunan,
lalu menyentakkannya hingga berhenti.
Adiknya jatuh ke tanah
hanya sesaat sebelum banteng yang mendengus-dengus itu
menyerang tempat ia berada tadi.

la menjerit ketakutan.
Si banteng memutar tubuh,
menggaruk-garuk tanah lagi dengan kuku-nya,
lalu menundukkan kepala dan siap merangsek lagi.

David menyentakkan kedua lengan sweter merah adiknya,
lalu melepaskan sweter itu dan melemparkannya sejauh mungkin.
Si banteng mengikutinya.
Dengan tanduk dan kukunya
ia merobek-robek sweter itu hingga menjadi ratusan serpihan merah,

sementara David setengah menyeret
dan menggendong adiknya yang ketakutan ke tempat aman.




Aku adalah anak perempuan kecil itu,
dan sejak hari itu,
aku cuma tertawa kalau kakakku mengejekku "bayi besar".
la tak bisa membodohiku.
Aku tahu ia menyayangiku.
la tak perlu menghadapi banteng itu untuk membuktikannya.
Tapi aku takkan pernah melupakan hari itu.

Diana L. James

Eleanor

Eleanor tidak tahu
apa yang terjadi dengan Nenek.
Nenek jadi pelupa,
misalnya di mana ia menaruh gula,
kapan membayar rekening,
dan kapan harus siap dijemput untuk belanja.

"Nenek kenapa sih?" Eleanor bertanya.
"Dulu Nenek baik sekali.
Sekarang dia selalu kelihatan sedih dan melamun,
dan jadi pelupa."

"Nenek sudah tua," kata Ibu.
"Sekarang ia membutuhkan banyak kasih sayang, manisku."

"Seperti apa sih rasanya menjadi tua?" tanya Eleanor.
"Apa semua orang jadi pelupa?
Apakah aku juga akan begitu?"

"Tak semua orang jadi pelupa kalau sudah tua, Eleanor.
Mungkin Nenek mengidap penyakit Alzheimer,
dan itu membuat Nenek jadi lebih pelupa.

Kita mungkin harus memasukkannya ke panti jompo
supaya dia bisa dirawat dengan baik."

"Oh, Ibu!
Gawat! Nenek pasti sangat rindu pada rumah mungilnya, ya kan?"

"Mungkin, tapi tak ada lagi yang bisa kita lakukan.
Di panti jompo, dia bisa dirawat dengan baik
dan mendapat teman baru.

Eleanor kelihatan sedih.
Dia sama sekali tak menyukai gagasan itu.

"Kita boleh sering menengoknya kan?" tanyanya.
"Aku pasti rindu ngobrol dengan Nenek, biarpun dia sering lupa."

"Kita bisa berkunjung akhir minggu," jawab Ibu.
"Kita bisa membawakan dia hadiah."

"Seperti es krim?
Nenek suka sekali es krirn strawberry!" Eleanor tersenyum.

"Jadi kita belikan es krim strawberry saja!" kata Ibu.

Pertama kali mereka menengok Nenek di panti jompo,
Eleanor ingin menangis.

"Ibu, hampir semua orang memakai kursi roda," katanya.

"Mereka harus memakainya
kalau tidak, mereka bisa jatuh," Ibu menjelaskan.
"Nah, waktu kamu bertemu Nenek,
kamu harus tersenyum dan berkata bahwa Nenek kelihatan cantik."

Nenek duduk sendirian di pojok kamar yang disebut kamar matahari.
la duduk memandang pohon-pohon di luar.

Eleanor memeluk Nenek.
"Lihat," katanya,
"kami membawa sebuah hadiah kesukaan Nenek,
es krim strawberry!"

Nenek mengambil mangkuk Dixie itu dan sendoknya,
lalu makan tanpa sepatah kata pun.

"Ibu yakin Nenek menyukainya, sayang," ibu Eleanor meyakinkannya.

"Tapi Nenek kelihatannya tak mengenali kita." Eleanor kecewa.

"Kamu harus sabar menghadapi Nenek," kata Ibu.
"Nenek berada di lingkungan baru,
jadi harus menyesuaikan diri."

Tapi saat berikutnya mereka mengunjungi Nenek,
keadaannya sama saja.
la makan es krim dan tersenyum pada mereka,
tapi ia tak berkata apa-apa.

"Nek, Nenek masih ingat siapa saya?" tanya Eleanor.

"Kamu adalah gadis yang suka membawakan saya es krim," kata Nenek.

"lya, tapi saya juga Eleanor, cucu Nenek.
Nenek tak ingat saya?" tanyanya sambil memeluk wanita tua itu.

Nenek tersenyum sedikit.
"Ingat? Tentu saja saya ingat.
Kamu gadis yang suka membawakan es krim."

Mendadak Eleanor sadar
bahwa Nenek tak akan pernah ingat padanya lagi.
Nenek hidup dalam dunianya sendiri,
dalam dunia yang penuh bayangan kenangan dan kesepian.
"Oh, saya sangat mencintai Nenek!" katanya.
Lalu ia melihat setetes air mata bergulir di pipi Nenek.

"Cinta," kata Nenek.
"Saya ingat cinta."

"Nah, lihatlah sayang,
memang itu yang diinginkan Nenek," kata Ibu.
"Cinta."




"Kalau begitu,
saya akan membawakan Nenek es krim tiap akhir pekan,
dan memeluknya meskipun Nenek tak ingat padaku," kata Eleanor.

Lagipula, itu yang lebih penting
mengingat cinta yang dilimpahkan seseorang
dan bukan mengingat namanya.

--
Marion Schoeberlein

Jessica

Pada suatu malam
Budi, seorang eksekutif sukses, seperti biasanya
sibuk memperhatikan berkas-berkas pekerjaan kantor
yang dibawanya pulang ke rumah,
karena keesokan harinya ada rapat umum yang sangat penting
dengan para pemegang saham.

Ketika ia sedang asyik menyeleksi dokumen kantor tersebut,
Putrinya Jessica datang mendekatinya,
berdiri tepat disampingnya,
sambil memegang buku cerita baru.

Buku itu bergambar seorang peri kecil yang imut,
sangat menarik perhatian Jessica,

"Pa liat"! Jessica berusaha menarik perhatian ayahnya.

Budi menengok ke arahnya, sambil menurunkan kacamatanya,
kalimat yang keluar hanyalah kalimat basa-basi

"Wah,. buku baru ya Jes?",

"Ya papa" Jessica berseri-seri
karena merasa ada tanggapan dari ayahnya.

"Bacain Jessi dong Pa" pinta Jessica lembut,

"Wah papa sedang sibuk sekali, jangan sekarang deh"
sanggah Budi dengan cepat.

Lalu ia segera mengalihkan perhatiannya
pada kertas-kertas yang berserakkan didepannya, dengan serius.

Jessica bengong sejenak, namun ia belum menyerah.
Dengan suara lembut dan sedikit manja ia kembali merayu

"pa, mama bilang papa mau baca untuk Jessi"

Budi mulai agak kesal,
"Jes papa sibuk, sekarang Jessi suruh mama baca ya"

"Pa, mama cibuk terus, papa liat gambarnya lucu-lucu",

"Lain kali Jessica, sana! papa lagi banyak kerjaan"
Budi berusaha memusatkan perhatiannya pada lembar-lembar kertas tadi,

menit demi menit berlalu,
Jessica menarik nafas panjang dan tetap disitu,
berdiri ditempatnya penuh harap,
dan tiba-tiba ia mulai lagi.

"Pa,.. gambarnya bagus,
papa pasti suka",

"Jessica, PAPA BILANG, LAIN KALI!!"
kata Budi membentaknya dengan keras,

Kali ini Budi berhasil,
semangat Jessica kecil terkulai,
hampir menangis,
matanya berkaca-kaca dan ia bergeser menjauhi ayahnya

"Iya pa,. lain kali ya pa?"

Ia masih sempat mendekati ayahnya
dan sambil menyentuh lembut tangan ayahnya
ia menaruh buku cerita di pangkuan sang Ayah.

"Pa kalau papa ada waktu,
papa baca keras-keras ya pa,
supaya Jessica bisa dengar".

Hari demi hari telah berlalu,
tanpa terasa dua pekan telah berlalu
namun permintaan Jessica kecil tidak pernah terpenuhi,
buku cerita Peri Imut, belum pernah dibacakan bagi dirinya.
Hingga suatu sore terdengar suara hentakan keras

"Buukk!!"

beberapa tetangga melaporkan dengan histeris
bahwa Jessica kecil
terlindas kendaraan seorang pemuda mabuk
yang melajukan kendaraannya dengan kencang didepan rumah Budi.

Tubuh Jessica mungil terhentak beberapa meter,
dalam keadaan yang begitu panik ambulance didatangkan secepatnya,

selama perjalanan menuju rumah sakit,
Jessica kecil sempat berkata dengan begitu lirih

"Jessi takut Pa,
Jessi takut Ma,
Jessi sayang papa mama"

darah segar terus keluar dari mulutnya
hingga ia tidak tertolong lagi
ketika sesampainya di rumah sakit terdekat.

Kejadian hari itu begitu mengguncangkan hati nurani Budi,
Tidak ada lagi waktu tersisa untuk memenuhi sebuah janji.
Kini yang ada hanyalah penyesalan.
Permintaan sang buah hati yang sangat sederhana,.. pun
tidak terpenuhi.
Masih segar terbayang dalam ingatan budi
tangan mungil anaknya yang memohon kepadanya
untuk membacakan sebuah cerita,

kini sentuhan itu terasa sangat berarti sekali,

",...papa baca keras-keras ya Pa,
supaya Jessica bisa dengar"

kata-kata Jessi terngiang-ngiang kembali.
Sore itu setelah segalanya telah berlalu,
yang tersisa hanya keheningan dan kesunyian hati,
canda dan riang Jessica kecil tidak akan terdengar lagi,

Budi mulai membuka buku cerita peri imut
yang diambilnya perlahan dari onggokan mainan Jessica
di pojok ruangan.
Bukunya sudah tidak baru lagi,
sampulnya sudah usang dan koyak.
Beberapa coretan tak berbentuk
menghiasi lembar-lembar halamannya
seperti sebuah kenangan indah dari Jessica kecil.




Budi menguatkan hati,
dengan mata yang berkaca-kaca ia membuka halaman pertama
dan membacanya dengan sura keras,

tampak sekali ia berusaha membacanya dengan keras,
Ia terus membacanya dengan keras-keras
halaman demi halaman,
dengan berlinang air mata.

"Jessi dengar papa baca ya"
selang beberapa kata,.. hatinya memohon lagi

"Jessi papa mohon ampun nak"

"papa sayang Jessi"

Seakan setiap kata dalam bacaan itu begitu menggores lubuk hatinya,
tak kuasa menahan itu Budi bersujut dan menangis,..
memohon satu kesempatan lagi untuk mencintai.

Tiga puluh menit saja

Seperti biasa Rudi,
kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta,
tiba di rumahnya pada pukul 9 malam.
Tidak seperti biasanya, Imron,
putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu.
Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.

"Kok, belum tidur?" sapa Rudi sambil mencium anaknya.

Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang
dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga,
Imron menjawab, "Aku nunggu Ayah pulang.
Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?"

"Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah?
Mau minta uang lagi, ya?"

"Ah, enggak. Pengen tahu aja."

"Oke. Kamu boleh hitung sendiri.
Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-.
Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja,
Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?"

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar,
sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi.
Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian,
Imron berlari mengikutinya.

"Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam,
berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong," katanya.

"Wah, pinter kamu.
Sudah, sekarang cuci kaki, bobok," perintah Rudi.

Tetapi Imron tak beranjak.

Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian,
Imron kembali bertanya,
"Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?"

"Sudah, nggak usah macam-macam lagi.
Buat apa minta uang malam-malam begini?
Ayah capek.
Dan mau mandi dulu.
Tidurlah."

"Tapi, Ayah..."

Kesabaran Rudi habis.

"Ayah bilang tidur!" hardiknya mengejutkan Imron.

Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya,
Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya.
Anak kesayangannya itu belum tidur.
Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan
sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu,
Rudi berkata,
"Maafkan Ayah, Nak.
Ayah sayang sama Imron.
Buat apa sih minta uang malam-malam begini?
Kalau mau beli mainan, besok' kan bisa.
Jangankan Rp 5.000,-
lebih dari itu pun ayah kasih."

"Ayah, aku nggak minta uang.
Aku pinjam.
Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi
dari uang jajan selama minggu ini."

"Iya, iya, tapi buat apa?" tanya Rudi lembut.



"Aku menunggu Ayah dari jam 8.
Aku mau ajak Ayah main ular tangga.
Tiga puluh menit saja.
Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga.
Jadi, aku mau beli waktu ayah.
Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-.
Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-,
maka setengah jam harus Rp 20.000,-.
Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-.
Makanya aku mau pinjam dari Ayah," kata Imron polos.

Rudi terdiam.
Ia kehilangan kata-kata.
Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.